Articles by "Artikel Islam"

Satu Kalimat Sepele Tapi Kedahsyatannya Sanggup Menjebol Tembok Yajuj & Majuj

Di antara bangsa-bangsa manusia, tidak ada bangsa yang sekuat ya'juj ma'juj, sekejam ya'juj ma'juj, dan sebanyak ya'juj ma'juj. Namun tidak disangka, bahwa kelak yang membebaskan mereka dari tembok kokoh dzilqarnain adalah kalimat 'Insya Allah'.

Nabi Sulaiman a.s. lupa mengatakan "Insya Allah" saat mengatakan, "Malam ini aku akan menyetubuhi 60 atau 70 istriku sehingga mereka hamil. Lalu, setiap istriku melahirkan seorang anak lelaki yang akan menjadi mujahid penunggang kuda fisabilillah." maka ia pun gagal memiliki anak (Kisah Nabi Sulaiman ini terabadikan dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim)

Ketika malam itu beliau memang menyetubuhi 60 atau 70 istrinya, tetapi yang hamil hanya salah satu diantara istrinya. Bahkan anak yang dilahirkannya pun dalam keadaan tidak sempurna fisiknya. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda : "Kalau saja Nabi Sulaiman as mengucapkan insya Allah, niscaya mereka akan berjihad di jalan Allah sebagai penunggang kuda semuanya." (HR Bukhari dan Muslim)}

Nabi Muhammad 'alaihi sholawat wassalam pernah ditanya oleh An-Nadhar bin Al-Harits dan `Uqbah bin Ani Mu'ith sebagai utusan kaum kafir Quraisy. Pertanyaan yang diajukan oleh kedua orang ini adalah : Bagaimana kisah Ashabul Kahfi ?, Bagaimana kisah Dzul Qarnain ?, dan Apa yang dimaksud dengan Ruh?.

Rasulullah saw bersabda kepada dua orang itu "besok akan saya ceritakan dan saya jawab.". Akan tetapi Rasulullah saw lupa mengucapkan "Insya Allah". Akibatnya wahyu yang datang setiap kali beliau menghadapi masalah pasti terputus selama 15 hari.

Sedangkan orang Quraisy setiap hari selalu menagih janji kepada Rasulullah saw dan berkata "Mana ceritanya? besok..besok..besok..". ketika itu Rasulullah saw sangat bersedih. Akhirnya Allah menurunkan wahyu surat Al-Kahfi yang berisi jawaban kedua pertanyaan pertama, pertanyaan ketiga berada dalam surat Al-Israa ayat 85.

Allah berfirman pada akhir surat Al-Kahfii :
"Janganlah kamu sekali-kali mengatakan, 'Sesungguhnya saya akan melakukan hal ini besok,' kecuali dengan mengatakan Insya Allah." (QS Al-Kahfi :23-24)

Sebuah kalimat yang sering kita sepelekan dan kita salah artikan tetapi orang yang paling mulia disisiNya, yang telah diampuni dosanya baik yang telah lalu dan yang akan datang pun ditegur oleh Allah swt karena lupa mengucapkan Insyaa Allah. Ada rahasia besar apa dibalik kalimat Insya Allah ?

Perhatikan petikan ayat diatas, di ayat tersebut Allah memerintahkan manusia ketika semua rencana sudah matang dan pasti janganlah mengatakan “Sesungguhnya aku akan mengerjakan besok” tetapi harus diikuti dengan ucapan Insya Allah.

Sebab ucapan “Sesungguhnya aku akan mengerjakan besok” adalah sebuah UCAPAN KEPASTIAN, keyakinan diri jika hal itu benar benar akan dilakukannya, BUKAN KERAGU-RAGUAN.

Benar, Insya Allah adalah penegas ucapan kepastian dan keyakinan. Bukan keragu-raguan. Dari situlah tubuh kita mengeluarkan semacam kekuatan dan kepasrahan total yang tidak kita sadari sebagai syarat utama tercapainya sebuah keberhasilan.

Manusia hanya berencana dan berikhtiar, Allah yang menentukan hasilnya. Manusia terlalu lemah untuk mengucapkan ‘pasti’, karena Allah sebagai sang pemilik tubuh ini dapat berkehendak lain.


Ingat baik baik !!!Jika kalian tidak yakin atau tidak dapat memastikan sebuah rencana, maka jangan pernah mengatakan Insya Allah, cukup katakan saja “Maaf, saya tidak bisa” atau “Maaf, saya tidak dapat menghadiri…”. (begitulah cara Allah membentuk mental tangguh generasi Pilih tanding)

Tetapi Bila pembaca situslakalaka yakin bisa melakukan rencana itu, maka katakanlah “Insya Allah”, niscaya kalian akan melihat sebuah ketentuan Allah sesuai dengan apa yang telah dijanjikan oleh-Nya.

"Mereka (Ya'juj & Ma'juj) berusaha untuk keluar dengan berbagai cara, hingga sampai saat matahari akan terbenam mereka telah dapat membuat sebuah lobang kecil untuk keluar. Lalu pemimpinnya berkata,'Besok kita lanjutkan kembali pekerjaan kita dan besok kita pasti bisa keluar dari sini." Namun keesokkan harinya lubang kecil itu sudah tertutup kembali seperti sedia kala atas kehendak Allah. Mereka pun bingung tetapi mereka bekerja kembali untuk membuat lubang untuk keluar. Demikian kejadian tersebuat terjadi berulang-ulang. Hingga kelak menjelang Kiamat, di akhir sore setelah membuat lubang kecil pemimpin mereka tanpa sengaja berkata, “Insya Allah, Besok kita lanjutkan kembali pekerjaan kita dan besok kita bisa keluar dari sini.” Maka keesokan paginya lubang kecil itu ternyata masih tetap ada, kemudian terbukalah dinding tersebut sekaligus kegaibannya dari penglihatan masyarakat luar sebelumnya. Dan Kaum Ya’juj dan Ma’juj yang selama ribuan tahun terkurung telah berkembang pesat jumlahnya akan turun bagaikan air bah memuaskan nafsu makan dan minumnya di segala tempat yang dapat mereka jangkau di bumi."

Jika kaum perusak sekelas ya'juj dan ma'juj saja bisa berhasil meskipun tanpa sengaja mengucapkan Insya Allah, bagaimanakah halnya dengan kita umat islam ? apalagi jika disertai dengan kesadaran dan penuh kepastian mengucapkannya ?? Yakinlah, Janji Allah swt selalu benar, Dia lah sebaik baik penepat Janji.

 


Brewing. Demikian pembuatan khamar sering disebut, minuman haram yang banyak diminati di dunia bagi orang kafir, dan paling dihindari oleh orang-orang yang takut kepada Allah. Tetapi di dalamnya terdapat dua hal yang berlawanan. Di satu sisi khamar adalah barang yang berbahaya tapi di dalamnya juga terdapat keajaiban Allah seperti disebut dalam Al Qur’an surat An Nahl ayat 67. Dan ternyata keajaiban di dalamnya ini diakui, baik oleh orang kafir yang mengonsumsi dan membuatnya maupun orang Islam yang berusaha memahami Quran dan tanda-tanda kebesaran Allah di dalam ciptaan-Nya.

Pada acara “What’s that about?” dalam Discovery Science membahas tentang bagaimana proses pembuatan bir dalam jumlah jutaan botol setiap tahun, yang dalam proses pembuatan ini harus menghasilkan bir dengan rasa yang sama dan tidak berubah pada setiap botolnya. Untuk pembuatan dalam jumlah sedikit tentu hal ini tidak akan menjadi masalah, tapi bila jumlah jutaan tentunya akan sangat sulit.
Kita bisa mengambil hikmah dari acara ini yang ternyata intinya adalah menjelaskan kebenaran Al Quran surat An Nahl ayat 67.  Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rizki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.”
Mengapa dalam ayat ini Allah menyatakan bahwa terdapat tanda kebesaran Allah padahal minuman ini memabukkan dan haram? Diketahui ternyata cara pembuatannya membutuhkan kecanggihan dan teknologi yang tinggi, yang saat ini dibuat oleh orang-orang kafir. Dan hal ini tidak kita temukan dalam pembuatan minuman yang lain seperti teh, kopi, cendol, dll.
Sehingga tidak mengherankan pula bahwa khamar (yang tidak memabukkan)  juga akan menjadi minuman di surga nanti. Subhanallah.
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya,  “Diedarkan kepada mereka gelas yang berisi khamar dari sungai yang mengalir. (warnanya) putih bersih, sedap rasanya bagi orang-orang yang minum. Tidak ada dalam khamar itu alkohol dan mereka tiada mabuk karenanya.” (Qs. Ash Shaaffaat 45-47)
“Mereka diberi minum dari ‘rohiq’ yang dilak (tempatnya)…” (Qs. Al Muthafifin 25). ‘Rohiq’ maknanya adalah khamar yang bersih dari kotoran (Tafsir Jalalain halaman 599)
Mari sedikit kita cermati proses pembuatannya.
Dalam proses pembuatan bir atau minuman anggur ternyata memerlukan tahap-tahap yang sangat kritis dan memerlukan peralatan yang benar-benar harus sempurna. Apalagi untuk membuat jutaan botol berisi khamar dengan rasa dan bau yang sama.
Perlu diketahui prinsip brewing adalah yeast akan merubah glukosa menjadi alkohol dan karbondioksida. Kalau kita amati dalam bahasa Arab ‘sukkaru‘ berarti manis dan ‘sukaaraa‘ berarti yang memabukkan. Ternyata minuman yang memabukkan tersebut memang berasal dari glukosa/gula yang diubah menjadi alkohol dan karbondioksida oleh yeast/ragi.
Ada 7 tahap pada proses yang memiliki tingkat kesulitan cukup tinggi. Memerlukan kontrol komputer yang sangat ketat. Kontrol ini meliputi suhu, waktu, buih, tangki, dan pembersihan tangkinya. Bahkan oleh para pembuatnya proses ini dikatakan “as a magic“.
Suhu pembuatan, waktu pencampuran, fermentasi harus benar-benar tepat, buihnya pada saat memproses bir ini harus sempurna, tangki serta pipa harus memiliki persyaratan yang sangat ketat. Tangki dan pipa aluminium harus benar-benar halus, rata seperti gelas/kaca, tangki-tangki ini dibuat secara khusus oleh perusahaan tersendiri. Akurasi pemotongan pipa untuk sambungannya adalah 1:1000 mm, dengan pengelasan/welding khusus untuk menghasilkan sambungan yang benar-benar rata dan halus.
Setelah tangki dan pipa selesai masih harus dicek dengan endoscopy untuk memastikan kehalusan permukaan dalam pipa dan tangki tersebut. Kekasaran permukaan tangki dan pipa sangat kecil dengan toleransi 1/10 ketebalan kertas fotocopy. Kekasaran yang lebih dari batas ini ataupun ‘microscopic roughness‘ bisa menyebabkan tumbuhnya mikroorganisme/bakteri yang akan menganggu proses fermentasi. Di sisi luar tangki, perlu diselubungi dengan jaket (suatu bahan logam lain yg menutupi/melindungi tangki) untuk melindungi suhu tangki dari pengaruh panas/udara luar.  Karena tinggi dan rendahnya temperatur akan menghasilkan rasa dan warna bir yang berbeda.
Selain itu diperlukan ahli kimia khusus untuk membersihkan tangki dan pipa sebelum digunakan. Dengan proses pembersihan yang sangat rumit dan sangat teliti untuk memastikan pipa dan tangki (terutama bagian dalam) benar-benar bersih dan steril. Pembersihan ini sangat diperlukan ntuk menghindari bakteri. Sama halnya dengan kriteria kehalusan dan kelicinan permukaan dalam pipa, tangki dan sambungannya, juga untuk menghindari timbul dan berkembangnya bakteri. Bakteri ini sebenarnya tidak berbahaya bagi peminumnya (mengingat bir ini akhirnya akan mengandung/menghasilkan alkohol) tetapi sangat berpengaruh pada rasa yaitu mengakibatkan rasa bir menjadi hambar (menurut pengkonsumsi bir), karena bakteri dan sinar matahari akan menyebabkan terjadinya pemecahan molekul sehingga rasa bir menjadi tidak enak. Selain itu penambahan nitrogen pada bir kadang diperlukan untuk mengubah tekstur bir, sehingga warna botol penyaji minuman ini pun khusus, biasanya berwarna hijau.
Untuk saran penyajiannya disarankan menggunakan gelas kaca yang benar-benar halus dan harus benar-benar bersih, serta disimpan di tempat yang bebas debu. Botol-botol untuk tempat bir dalam perusahaan pembuatnya, diukur dan diperiksa dengan sangat teliti menggunakan scanning computer yang diproses dengan image prosessing untuk mendeteksi adanya ketidaksempurnaan/kecacatan botol yang walaupun hanya sangat kecil. Botol yang tidak lolos akan di-recycle. Pengukuran dan persyaratan dalam range yang sangat ketat, mendekati exact.  Hanya botol-botol yang sempurna dan lolos persyaratan tinggi itulah yang bisa digunakan. Selain itu warna kaca botol juga akan mempengaruhi rasa dari bir tersebut.
Saudaraku, ternyata Allah Ta’ala berfirman di dalam Al Qur’an surat Al Insaan 16, yang artinya, “(yaitu) kaca-kaca (yang terbuat) dari perak yang telah mereka ukur dengan sebaik-baiknya.”
Di surga, minuman tersebut ditempatkan pada gelas kaca yang telah diukur dengan ketepatan yang exact, ketepatan ukuran yang sudah pasti, karena di dunia pun orang kafir sudah tahu bahwa pengukuran yang tidak tepat dari gelas untuk minum alkohol akan mengubah rasa dan teksturnya.
Diungkapkan pula bahwa pembuatan bir-bir tersebut menggunakan resep-resep yang sudah berumur ratusan tahun. Ada banyak resep dengan berbagai macam campuran untuk menghasilkan cita rasa yang berbeda.  Perbedaan waktu fermentasi dan suhu akan menghasilkan khamar yang berbeda, baik dari rasa maupun warna, apalagi berbeda campuran atau bahan-bahan yang dipakai. Campuran yang dipakai misalnya bunga-bunga tertentu, biji-bijian, madu, kopi, kurma dan sebagainya yang biasanya sangat dirahasiakan oleh pabriknya.
Tetapi Allah telah memilihkan minuman bagi orang beriman di surga dengan campuran yang khusus. Sebagai minuman surga, khamar juga disebutkan mempunyai bermacam-macam campuran yang pastinya lebih nikmat, resep yang tiada tandingannya dan merupakan minuman pilihan. Di dalam Al Qur’an surat Al Insaan ayat 17-18 campurannya jahe yang diperoleh dari sungai Salsabila di surga, di Al Qur’an surat Al Muthafifin ayat 27 campuran dari mata air Tasnin, dan di Al Qur’an surat Al Muthafifin ayat 6 campuran air Kaafur.
Ternyata untuk membuat bir dalam jumlah banyak dengan rasa dan bau yang sama untuk setiap botolnya memerlukan proses yang sangat sulit. Perlu pengontrolan yang ketat, teknik pembuatan yang sangat canggih, teknik pembersihan pipa dan tangki yang sempurna, serta suhu yang tepat, waktu fermentasi yang tepat, dan botol yang sempurna. Jadi, untuk membuat minuman tersebut mempunyai rasa dan bau yang sama tidaklah mudah. Bahkan sangatlah sulit. Oleh karena itu, mengapa di dalam Al Quran Allah menyatakan bahwa minuman di surga tiada berubah rasa dan baunya? Karena salah satu yang kita tahu saat ini, ternyata untuk membuat demikian adalah sangat sulit dan diperlukan teknologi yang canggih.
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “(Apakah) perumpamaan (penghuni) jannah yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka, sama dengan orang yang kekal dalam jahannam dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong ususnya.” (Qs. Muhammad: 15)
Bir ini bisa tahan sampai ratusan tahun, semakin lama botol ini disimpan akan semakin mahal dan katanya semakin lezat, sehingga sebuah perusahaan bir menyimpan bir-bir ini dalam terowongan bawah tanah sepanjang 6 mil dengan sistem pengendalian suhu yang canggih. Bahkan ada botol-botol yang tersimpan dalam kapal kuno yang tenggelam ratusan tahun dan berhasil diangkat oleh manusia rasanya semakin ‘enak’.
Perusahaan bir terbesar di dunia Anheuser-Busch InBev “Budweiser” memproduksi ratusan juta barrels per-tahunnya. Belum lagi perusahaan-perusahaan lainnya. Produksi yang sangat besar dan ternyata pengkonsumsinya pun sangat banyak. Padahal Khamar/minuman beralkohol ini sangat sulit proses pembuatannya, perlu ketelitian, faktor ketepatan yang tinggi, perlu teknologi yang canggih, memerlukan waktu yang lama, mahal, tidak menyehatkan dan merusak tubuh, menurut pengalaman peminum rasanya pahit, untuk menyajikannya perlu gelas diukur dengan baik dan bersih…
Betapa sulitnya untuk mendapatkan dan minum bir ini… padahal, hal tersebut dilarang oleh Allah. Allah menyatakannya sebagai minuman/makanan yang haram. Tetapi manusia tetap bersusah payah mengusahakannya, walau dengan biaya besar dan memeras otak, hanya untuk menghasilkan dan mengkonsumsi minuman haram… Sehingga tampaklah bahwa sebenarnya Syaitan berandil di dalamnya, dan tipu daya Syaitan itu sebenarnya lemah. Akan tetapi karena hawa nafsu manusia dan kebodohan manusia, Syaitan berhasil membutakan manusia. Semoga Allah selalu menjaga kita dalam petunjuk dan jalan kebenarannya, serta dalam menjaga ketaatan kepada Allah. Aamiin.
Itulah sekelumit pembuatan bir, yang memerlukan kerjasama ilmuwan-ilmuwan dari berbagai bidang ilmu untuk meneliti dan menghasilkan minuman bir. Dengan penelitian yang cukup canggih, itupun mereka para ahli pembuat bir ini mengatakan bahwa proses fermentasi tersebut masih merupakan misteri bagi mereka dan proses pembuatan bir ini menurut mereka adalah suatu keajaiban. Sayangnya mereka tidak bertakwa kepada Allah, tidak mengingat siapa yang menciptakannya, tidak bersyukur kepada Penciptanya, dan mengkonsumsi yang dilarang Allah.
Sedangkan kita kaum muslim harus bisa mengambil manfaat dari apa yang mereka lakukan untuk lebih bersyukur dan lebih tunduk hanya kepada Allah karena tanda-tanda kebesaran-Nya semakin nyata. Memang manusia berusaha memberi nama khamar dengan nama yang indah, seperti kata “bir” yang dalam bahasa Arab “al birru” artinya adalah kebaikan, tapi di dunia ini khamar akan tetap sebagai minuman yang tidak baik dan yang menjadi amalan Syaitan sehingga harus kita jauhi.
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. al-Maidah: 90)
Akan tetapi, di surga kelak khamar akan menjadi al-birru (kebaikan) yang sesungguhnya. Kebaikan bagi hamba-hamba Allah yang menjauhinya di dunia. Insyaa Allah. Wallahu a’lam.
Hanya karena petunjuk, penerangan dan tuntunan Allah, kebesaran Allah dipahamkan.
Kubang Kerian, Kelantan (Malaysia)
Referensi:
  1. Al-Qur’anul karim dan terjemahan, Depag RI
  2. Ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar, 2007, Pengajian Khudz Aqidataka 1, Lembaga Bimbingan Islam Al-Atsary, Yogyakarta.
  3. Discovery Communication Network, 2007, What’s that about? Discovery Science, Discovery  channel at Astro Malaysia.
  4. Wikipedia, the free encyclopedia, brewery, brewing, fermentation
***
Penulis: Abu Naufal & Ummu Naufal
Muraja’ah: Ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

عَنْ أَبِي ذَرّ جُنْدُبْ بْنِ جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذ بْن جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
Dari Abu Dzar, Jundub bin Junadah dan Abu Abdurrahman, Mu’az bin Jabal radhiallahuanhuma dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam beliau bersabda : “Bertakwalah kepada Allah dimana saja kamu berada, iringilah keburukan dengan kebaikan niscaya menghapusnya dan pergauilah manusia dengan akhlak yang baik “
Takhrij hadits
Hadits ini hasan. Diriwayatkan oleh : Ahmad (V/153, 158, 177), at-Tirmidzi (no. 1987), ad-Darimi (II/323), dan al-Hâkim (I/54) dari seorang shahabat Rasulullah yang bernama Abu Dzar al-Ghifâri Radhiallahu’anhu. Diriwayatkan juga oleh Ahmad (V/236); ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (XX/296, 297, 298) dan dalam al-Mu’jamush Shaghîr (I/192), dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ‘ (IV/418, no. 6058) dari Shahabat Mu’adz bin Jabal Radhiallahu’anhu. Hadits ini dihukumi hasan oleh Imam at-Tirmidzi, an-Nawawi dalam al-Arba’în dan Riyâdush Shâlihîn, dan Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shâghîr no. 97.
Penjelasan hadits
Hadits yang mulia ini berisi wasiat berharga dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kita semua dalam mengarungi kehidupan dunia ini. Wasiat ini berhubungan dengan hubungan kita kepada Allah, diri sendiri dan orang lain. Setiap kita mesti akan berhubungan dengan sang pencipta kita dan ini dapat diwujudkan dengan benar hanya dengan takwa kepadaNya disetiap saat. Juga setiap kita akan berhubungan dengan diri sendiri sebagai insan yang tidak luput dari kesalahan dan dosa, maka caranya adalah dengan mengiringi kesalahan dan dosa dengan taubat yang merupakan amalan sholih dan kebajikan yang dapat menghapus dosa kesalahan tersebut. Sehingga bila seorang berbuat dosa maka segera mengiringinya dengan taubat dan menambah amal kebaikan yang dapat menghapusnya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan laksanakanlah shalat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan” (Qs Hûd/11: 114).
Demikian juga kita tidak mungkin lepas dari masyarakat dan orang lain disekitar kita, karena manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan orang lain. Sebab itu beliau n mewasiatkan dengan menjadikan akhlak mulia sebagai dasar dalam pergaulan ini. Bergaul dengan orang lain dengan akhlak mulia dapat dijabarkan oleh sabda beliau yang lainnya, yaitu sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam :
فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ وَيَدْخُلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِى يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْه
Siapa yang ingin diselamatkan dari neraka dan masuk syurga maka hendaknya kematian menjemputkanya dalam keadaan ia beriman kepada Allah dan hari akhir dan hendaknya ia bergaul dengan orang lain sebagaimana ia ingin orang lain bergaul dengannya” (HR Muslim).
Demikian indahnya wasiat ini, sehingga siapa yang ingin selamat dunia akherat maka hendaknya mengamalkan tiga wasiat Rasululah Shallallahu’alaihi Wasallam ini. Semoga kita dapat mewujudkannya!
Fawaid
  1. Takwa kepada Allah merupakan kewajiban setiap muslim dan dia merupakan asas diterimanya amal shaleh.
  2. Semangatnya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam mengarahkan umatnya kepada setiap kebaikan.
  3. Wajib bagi seseorang untuk memenuhi hak Allah dengan bertakwa kepada-Nya.
  4. Wajibnya bertakwa kepada Allah Ta’ala dimana pun seseorang berada. Yaitu dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya, baik saat bersama orang lain maupun ketika sendirian.
  5. Wasiat takwa adalah wasiat yang paling agung.
  6. Wajib seseorang memenuhi hak dirinya dengan bertobat dan berbuat kebajikan.
  7. Bersegera melakukan ketaatan setelah keburukan secara langsung, karena kebaikan akan menghapus keburukan.
  8. Bersungguh-sungguh menghias diri dengan akhlak mulia dan Anjuran bergaul bersama manusia dengan akhlak yang baik.
  9. Akhlak yang baik termasuk dari kesempurnaan iman dan sifat orang-orang yang bertakwa, serta termasuk puncak dari agama Islam yang lurus.
  10. Akhlak yang baik termasuk asas dari peradaban hidup manusia, sebagai sebab bersatunya umat, tersebarnya rasa cinta, dicintai Allah Ta’ala, dan diangkatnya derajat pada hari Kiamat.
  11. Menjaga pergaulan yang baik merupakan kunci kesuksesan, kebahagiaan dan ketenangan di dunia dan akhirat. Hal tersebut dapat menghilangkan dampak negatif pergaulan.

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel Muslim.Or.Id


Pertanyaan:
Diantara aqidah ahlus sunnah wal jama’ah adalah:
ما شاء اللهُ كان وما لم يشأ لم يكن
Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, yang tidak Ia kehendaki tidak terjadi
Namun dalam diriku terdapat sebuah syubhat, yaitu perbuatan hamba itu ada karena kehendak Allah (dengan mengenyampingkan dahulu perihal kehendak hamba). Jika seorang hamba berbuat maksiat, sebetulnya maksiat yang ia lakukan itu atas kehendak Allah. Sehingga sebetulnya kehendak hamba tidak punya peran diantara kehendak Allah dan perbuatan si hamba. Maksudnya, kehendak si hamba itu, ada-atau-tidaknya tidak berpengaruh karena sesuatunya atas kehendak Allah. Jika Allah berkehendak sesuatu terjadi, maka si hamba akan berkehendak demikian lalu terjadilah. Jika Allah tidak berkehendak, maka si hamba tidak akan berkehendak juga dan lalu tidak terjadi.
Pertanyaan saya, apakah ini artinya hamba itu dipaksa oleh takdir untuk melakukan kebaikan ataupun keburukan? Jika jawabannya ya, lalu mengapa maksiat itu mendapat hukuman? Mohon penjelasan dari anda, semoga Allah membalas anda dengan kebaikan. Permasalahan ini membuat saya bingung.

Syaikh Muhammad Ali Farkus hafizhahullah menjawab:
Segala puji hanya untuk Allah Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpah kepada Rasulullah yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, juga kepada para sahabatnya, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Amma Ba’du.
Ketahuilah, semoga Allah melimpahkan taufik kepada anda, sebelum saya menjelaskan masalah ini anda hendaknya membedakan antara qadha kauniy dan qadha syar’i.
Qadha kauniy adalah takdir, yang terjadi atas kehendak Allah yang segala sesuatu tunduk pada kekuasaan-Nya. Dan setiap takdir pasti memiliki hikmah. Allah berfirman:
إِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُن فَيَكُونُ
Bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah”. Lalu jadilah ia” (QS. Al Baqarah: 117)
juga firman-Nya:
وَإِذَا أَرَادَ اللهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلاَ مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِ مِن وَالٍ
Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia” (QS. Ar Ra’du: 11)
maknanya adalah bahwa Allah Ta’ala sudah lebih dahulu mengetahui apa yang akan terjadi, dan ketika itu terjadi pasti sesuai dengan apa yang Allah ketahui. Tidak ada seorang pun hamba yang dipaksa oleh takdir Allah untuk melakukan ketaatan ataupun maksiat, dan tidak mereka dikendalikan oleh takdir. Karena ilmu Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah sifat Allah yang berupa inkisyaf (menyingkap yang belum terjadi) dan ihathah (pengetahuan atas segala sesuatu) bukan berupa taf’il (perbuatan) atau ta’tsir (hal yang menghasilkan perubahan). Dan qadha kauniy ini tidak diketahui oleh kita. Oleh karena itu, hamba Allah tidak dihisab berdasarkan qadha kauniy (yaitu karena tidak kita ketahui, -pent.). Namun dengan qadha kauniy ini hamba Allah dituntut untuk bersyukur jika ternyata ia ditakdirkan mendapatkan nikmat. Dan dituntut untuk bersabar jika ternyata ia ditakdirkan mendapatkan keburukan. Oleh karena itu juga, kehendak dan ikhtiar hamba tidak dilandasi oleh qadha kauniy.
Tidak demikian dengan qadha syar’i. Kehendak dan ikhtiar hamba berkaitan dengannya. Pembebanan syariat kepada hamba, berupa perintah dan larangan yang menjadi sumber pahala dan dosa juga dilandasi oleh qadha syar’i. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menampakkan qadha syar’i ini kepada kita melalui Rasul-Nya dan juga wahyu-Nya (Al Qur’an) untuk menunjukkan yang halal dan yang haram, juga janji dan ancaman-Nya. Untuk itu pula Allah memberikan kita kemampuan untuk menjalankannya. Qadha kauniy terus berlaku pada setiap apa yang terjadi hingga hari kiamat, qadha syar’i pun tidak lepas darinya. Artinya apa yang ada dalam qadha syar’i, segala sesuatu yang terjadi tetap tidak akan keluar dari qadha kauniy.
Oleh karena itu juga, Allah Ta’ala menginginkan hamba-Nya untuk taat, Ia memerintahkannya, dan tidak menginginkan hamba-Nya bermaksiat. Ia melarangnya. Perintah dan larangan tersebut merupakan qadha syar’i yang hamba dapat berkehendak untuk melakukannya atau tidak, dan tergantung pada ikhtiarnya. Namun Allah Ta’ala sudah mengetahui sebelumnya bahwa sebagian mereka akan berikhtiar untuk taat dan menjalani kebenaran, dan sebagian mereka akan berikhtiar untuk menjalani jalan kesesatan dan penyimpangan. Lalu Allah menetapkan pahala bagi orang yang taat dan menetapkan dosa bagi orang yang menyimpang dari kebenaran, sebagai bentuk qadha kauniy yang sudah diketahui sebelumnya oleh Allah. Pengetahuan Allah ini bukanlah pemaksaan dan pengendalian akan apa yang akan dilakukan si hamba dengan ikhtiar yang dilakukannya. Karena qadha kauniy ini tidak ada yang mengetahui kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Oleh karena itu, orang yang bermaksiat tidak boleh berdalih dengan qadha kauniy atas maksiat dan ketidak-taatan yang ia lakukan. Dan tidak ada seorang pun yang dapat berhujjah dengannya. Di sisi lain, seseorang tidak boleh meninggalkan amal karena menggantungkan diri para iradah kauniyah yaitu takdir. Oleh karena itu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَّسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ
Beramalah! karena setiap kalian akan dimudahkan untuk menggapai tujuan ia diciptakan
lalu beliau membaca ayat:
فَأَمَّا مَن أَعْطَى وَاتَّقَى، وَصَدَّقَ بِالحُسْنَى، فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى، وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى، وَكَذَّبَ بِالحُسْنَى، فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar” (QS. Al Lail, 5-10) [HR. Bukhari 4949, Muslim 6903]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Takdir bukanlah alasan bagi siapapun di hadapan Allah, juga di hadapan makhluk-Nya. Andai boleh beralasan dengan takdir dalam melakukan keburukan, maka orang zhalim tidak layak dihukum, orang musyrik tidak diperangi, hukuman pidana tidak boleh dijatuhkan, dan seseorang tidak boleh mnecegah kezhaliman orang lain. Semuga orang paham secara pasti bahwa ini semua merupakan kerusakan, baik dari segi agama maupun segi dunia” (Majmu’ah Ar Rasail Al Kubra, 1/353)
والعلمُ عند الله تعالى، وآخر دعوانا أنِ الحمد لله ربِّ العالمين، وصلى الله على نبيّنا محمّد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، وسلّم تسليمًا
Sumber: http://www.ferkous.com/site/rep/Ba26.php

Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Permasalahan satu ini sering jadi perdebatan di kalangan para ikhwah. Apakah dalam tasyahud mesti menggerakkan jari telunjuk, atau jarinya dalam keadaan diam saja. Untuk masalah yang satu ini, kami cuma menukil penjelasan dari salah seorang ulama saja tentang status hadits menggerak-gerakkan jari. Kami tidak sampai berpanjang lebar dalam membahas hal ini karena ternyata di dunia maya juga sudah dibahas oleh ustadz lainnya. Sehingga kami cukupkan dengan penjelasan singkat dari ulama Mesir, Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah dalam kitab beliau Syarh ‘Ilalil Hadits. Semoga bermanfaat.
Syaikh Musthafa Al ‘Adawi berkata,
Mengenai ziyadah (tambahan) lafazh “yuharrikuhaa” (يحركها) yaitu pada hadits yang membicarakan isyarat dengan telunjuk ketika tasyahud, hadits tersebut diriwayatkan dalam beberapa kitab. Sumbernya adalah dari ‘Ashim bin Kulaib, dari ayahnya. Dari Wail bin Hujr, ia berkata,
“Aku katakan, “Sungguh, aku memperhatikan shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana beliau melakukan shalat.” Ia berkata, “Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan menghadap kiblat, lalu bertakbir, lalu ia mengangkat kedua tangannya hingga sejajar kedua telinga, dan meletakkan tangan kanannya di atas punggung telapak tangan kirinya.” Kemudian saat akan ruku’ beliau mengangkat kedua tangannya seperti itu juga. Ketika sujud, beliau meletakkan kepalanya dengan posisi berada di depannya. Kemudian setelah itu beliau duduk iftirosy (menduduki kakinya yang kiri). Lantas ketika itu beliau letakkan tangan kirinya di atas paha kirinya, sedangkan siku kanannya diletakkan di atas paha kanannya. Beliau menggenggam dua jarinya dan membuat lingkaran. Aku melihatnya berkata seperti itu. Yaitu beliau membentuk lingkaran dengan jari jempol dan jari tengah (menurut salah satu riwayat). Lalu beliau berisyarat dengan jari telunjuk.
Perkataan kita sekarang adalah pada lafazh “asyaro bis-sabaabah”, artinya beliau berisyarat dengan jari telunjuk. Mayoritas perowi meriwayatkan hadits seperti itu, yaitu dikatakan “beliau berisyarat dengan jari telunjuk”. Sebagian perowi berkata lagi, “Beliau berisyarat dengan jari telunjuk dan berdoa dengannya.”
Adapun Zaidah bin Qudamah, beliau meriwayatkan hadits dengan lafazh, “Kemudian beliau mengangkat jarinya, maka aku melihat beliau menggerak-gerakkan jarinya lantas beliau berdoa dengannya.” Zaidah rahimahullah bersendirian dalam meriwayatkan hal ini berbeda dengan perowi yang lain. Bedanya beliau adalah karena adanya tambahan lafazh “yuharrikuhaa”, artinya beliau menggerak-gerakkan jarinya.
Zaidah bin Qudamah itu tsiqoh (kredibel) dan orang yang mulia, semoga Allah merahmati beliau. Beliau juga dipandang sebagai orang yang tsiqah (kredibel) dan muthqin (kokoh hafalannya). Akan tetapi, mayoritas perowi tidak menyebutkan sebagaimana yang disebutkan oleh Zaidah. Sehingga dari sini kita diamkan tambahan yang dibuat oleh Zaidah yaitu tambahan “yuharrikuhaa”, artinya beliau menggerak-gerakkan jarinya. Berikut adalah tabel sebagai penjelas yang kami maksudkan. Wabillahit taufiq.

Sebagaimana yang Anda lihat, Zaidah hanya bersendirian dalam meriwayatkan lafazh “yuharrikuha” (beliau menggerak-gerakkan jarinya).
Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata, “Tidak ada dalam satu riwayat yang menyebutkan “yuharrikuha” kecuali dari riwayat Zaidah di mana beliau (bersendirian) menyebutkannya.”
Al Baihaqi rahimahullah berkata, “Boleh jadi yang dimaksud dengan yuharrikuha (menggerak-gerakkan jari) adalah hanya berisyarat dengannya, bukan yang dimaksud adalah menggerak-gerakkan jari. Sehingga jika dimaknai seperti ini maka jadi sinkronlah dengan riwayat Ibnu Az Zubair. Wallahu a’lam.”
Aku (Syaikh Mushthafa Al ‘Adawi) berkata, “Riwayat Ibnu Az Zubair yang dikeluarkan oleh Muslim hanya menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya berisyarat saja dan tidak disebutkan menggerak-gerakkan jari (Syarh ‘Ilalil Hadits, Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, Maktabah Makkah, 168-170)
***
Pembahasan secara lengkap tentang hal ini telah dibahas oleh Al Ustadz Abu Muawiyah hafizhohullah, yang dinukil dari Majalah An Nashihah. Silakan lihat di sini.
Sekali lagi ini adalah masalah khilafiyah, jadi kami pun menghargai pendapat lainnya. Namun demikianlah pendapat yang kami pegang berdasarkan penelitian dari hadits-hadits yang ada sesuai dengan keterbatasan ilmu yang ada pada kami.
Catatan yang perlu diperhatikan, tidaklah usah merasa aneh jika ada yang tidak menggerak-gerakkan jari ketika tasyahud. Sebagaimana tidak perlu merasa aneh jika ada yang menggerak-gerakkan jari karena sebagian ulama berpendapat seperti ini. Namun sebaik-baik pendapat yang diikuti adalah yang berpegang pada pendapat yang kuat. Jika yakin bahwa hadits menggerak-gerakkan jari itu lemah karena menyelisihi banyak perowi yang lebih tsiqoh, maka sudah sepatutnya yang diikuti adalah yang yakin yaitu tidak menggerak-gerakkan jari. Namun ingat, tetaplah tolerir dengan pendapat lainnya karena masalah ini masih dalam tataran khilafiyah (silang pendapat antara para ulama). Wallahu a’lam bish showab.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Pembaca yang budiman, iman kepada takdir merupakan salah satu rukun iman yang enam. Barangsiapa tidak mengimaninya sungguh dia telah terjerumus dalam kekafiran meskipun dia mengimani rukun-rukun iman yang lainnya. Walhamdulillah banyak diantara kaum muslimin yang telah mengenal takdir, akan tetapi amat disayangkan ternyata masih terdapat berbagai fenomena yang justru menodai bahkan bertentangan dengan keimanan kepada takdir.

Barangkali masih tersimpan dalam ingatan kita tatkala seorang artis mempopulerkan lagu ‘Takdir memang kejam’ yang sangat digemari oleh sebagian masyarakat negeri ini beberapa waktu lampau, yang menunjukkan betapa mudahnya masyarakat kita menerima sesuatu yang menurut mereka bagus namun pada hakikatnya justeru merusak akidah mereka. Karena itulah setiap muslim wajib membekali dirinya dengan pemahaman takdir yang benar sebagaimana yang diajarkan oleh Allah dan Rosul-Nya. Dalam mengimani takdir ada empat hal yang harus diyakini dalam dada setiap muslim yaitu al ‘ilmu, al kitabah, al masyi’ah dan al kholq.
Pertama, Al ‘Ilmu (Tentang Ilmu Allah)
Kita meyakini bahwa ilmu Allah Ta’ala meliputi segala sesuatu secara global dan terperinci yang terjadi sejak zaman azali (yang tidak berpermulaan) sampai abadi (yang tidak berkesudahan). Allah Ta’ala berfirman, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Al Hajj: 70). Allah sudah tahu siapa saja yang akan menghuni Surga dan siapa yang akan menghuni Neraka. Tidak ada satupun makhluk di langit maupun di bumi bahkan di dalam perut bumi sekalipun yang luput dari pengetahuan-Nya.
Kedua, Al Kitabah (Tentang Penulisan Ilmu Allah)
Kita meyakini bahwa Allah Ta’ala telah menuliskan ilmu-Nya tentang segala sesuatu yang terjadi di dalam Lauhul Mahfuzh sejak 50 ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Rosululloh shollAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah telah menulis takdir seluruh makhluk ciptaan-Nya semejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (HR. Muslim). Takdir yang ditulis di Lauhul Mahfuzh ini tidak pernah berubah. Berdasarkan ilmu-Nya, Allah telah menuliskan siapa saja yang termasuk penghuni surga dan siapa yang termasuk penghuni neraka. Namun tidak ada satu orangpun yang mengetahui apa yang ditulis di Lauhul Mahfuzh kecuali setelah hal itu terjadi.
Ketiga, Al Masyi’ah (Tentang Kehendak Allah)
Kita meyakini bahwa Allah Ta’ala memiliki kehendak yang meliputi segala sesuatu. Tidak ada satu perbuatan makhluk pun yang keluar dari kehendak-Nya. Segala sesuatu yang terjadi semuanya di bawah kehendak (masyi’ah) Allah, entah itu disukai atau tidak disukai oleh syari’at. Inilah yang disebut dengan Irodah Kauniyah Qodariyah atau Al Masyi’ah. Seperti adanya ketaatan dan kemaksiatan itu semua terjadi di bawah kehendak Allah yang satu ini. Meskipun kemaksiatan itu tidak diinginkan terjadi oleh aturan syari’at.
Di sisi lain Allah memiliki Irodah Syar’iyah Diniyah. Di dalam jenis kehendak/irodah yang kedua ini terkandung kecintaan Allah. Maka orang yang berbuat taat telah menuruti 2 macam kehendak Allah ini. Adapun orang yang bermaksiat dia telah menyimpang dari Irodah Syar’iyah namun tidak terlepas dari Irodah Kauniyah. Lalu apakah orang yang bermaksiat ini terpuji? Jawabnya, Tidak. Karena dia telah melakukan perkara yang tidak dicintai d bahkan dibenci oleh Allah.
Keempat, Al Kholq (Tentang Penciptaan Segala Sesuatu Oleh Allah)
Kita meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta adalah makhluk ciptaan Allah baik itu berupa dzat maupun sifat, demikian juga seluruh gerak-gerik yang terjadi di dalamnya. Allah Ta’ala befirman, “Allah adalah pencipta segala sesuatu.” (Az Zumar: 62). Perbuatan hamba juga termasuk makhluk ciptaan Allah, karena perbuatan tersebut terjadi dengan kehendak dan kemampuan hamba; yang kedua-duanya ada karena diciptakan oleh Allah. Allah Ta’ala berfirman, “Allah-lah yang Menciptakan kalian dan amal perbuatan kalian.” (QS. Ash Shoffaat: 96)
Sumber Kesesatan Dalam Memahami Takdir
Sesungguhnya kesesatan dalam memahami takdir bersumber dari kesalahpahaman dalam memahami kehendak/irodah Allah. Mereka yang menganggap terjadinya kemaksiatan terjadi di luar kehendak Allah telah menyingkirkan dalil-dalil Al Kitab dan As Sunnah yang menunjukkan tentang Irodah Kauniyah. Orang-orang semacam ini akhirnya terjatuh dalam kesesatan tipe Qodariyah yang menolak takdir. Sedangkan mereka yang menganggap segala sesuatu yang ada baik ketaatan maupun kemaksiatan terjadi karena dicintai Allah telah menyingkirkan dalil-dalil Al Kitab dan As Sunnah yang mengancam hamba yang menyimpang dari Irodah Syar’iyah. Orang-orang semacam ini akhirnya terjatuh dalam kesesatan tipe Jabriyah yang menganggap hamba dalam keadaan dipaksa oleh Allah. Maha Suci lagi Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka katakan. Maka Ahlus Sunnah berada di tengah-tengah, mereka mengimani Irodah Syar’iyah dan Irodah Kauniyah, dan inilah pemahaman Nabi dan para sahabat.
Takdir Adalah Rahasia Allah
Ali bin Abi Tholib rodhiyAllahu ‘anhu menceritakan bahwa Nabi shollAllahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Setiap kalian telah ditulis tempat duduknya di surga atau di neraka.” Maka ada seseorang dari suatu kaum yang berkata, “Kalau begitu kami bersandar saja (tidak beramal-pent) wahai Rosululloh?”. Maka beliau pun menjawab, “Jangan demikian, beramallah kalian karena setiap orang akan dimudahkan”, kemudian beliau membaca firman Allah, “Adapun orang-orang yang mau berderma dan bertakwa serta membenarkan Al Husna (Surga) maka kami siapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. Al Lail: 5-7). (HR. Bukhori dan Muslim). Inilah nasehat Nabi kepada kita untuk tidak bertopang dagu dan supaya senantiasa bersemangat dalam beramal dan tidak menjadikan takdir sebagai dalih untuk bermaksiat.
Pilih Mana: Jalan ke Surga Atau ke Neraka?
Apabila di hadapan anda terdapat 2 buah jalan; yang satu menuju daerah yang penuh kekisruhan dan ketidakamanan, sedangkan jalan yang satunya menuju daerah yang penuh ketentraman dan keamanan. Akan kemanakah anda akan melangkahkan kaki? Akal sehat tentu tidak memilih jalan yang pertama. Maka demikian pulalah seharusnya kita bersikap dalam memilih jalan yang menuju kehidupan akhirat kita, hendaknya jalan ke surga itulah yang kita pilih bukan sebaliknya. Alangkah tidak adilnya manusia yang memilih kesenangan duniawi dengan akalnya namun justeru memilih kesengsaraan akhirat dengan dalih takdir dan membuang akal sehatnya. Suatu saat ada pencuri yang hendak dipotong tangan oleh kholifah Umar, namun pencuri ini mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin sesungguhnya aku mencuri hanya karena takdir Allah.” Umar pun menjawab, “Dan Kami pun memotong tangan dengan takdir Allah.” Lalu siapakah yang kejam? Bukan takdir Allah yang kejam tapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. WAllahu a’lam bish showaab.
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Beriman kepada Takdir
Kaum muslimin yang semoga dimuliakan oleh Allah ta’ala, salah satu rukun iman yang wajib diimani oleh setiap muslim adalah beriman kepada takdir baik maupun buruk.
Perlu diketahui bahwa beriman kepada takdir ada empat tingkatan:
  1. Beriman kepada ilmu Allah yang ajali sebelum segala sesuatu itu ada. Di antaranya seseorang harus beriman bahwa amal perbuatannya telah diketahui (diilmui) oleh Allah sebelum dia melakukannya.
  2. Mengimani bahwa Allah telah menulis takdir di Lauhul Mahfuzh.
  3. Mengimani masyi’ah (kehendak Allah) bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah karena kehendak-Nya.
  4. Mengimani bahwa Allah telah menciptakan segala sesuatu. Allah adalah Pencipta satu-satunya dan selain-Nya adalah makhluk termasuk juga amalan manusia.
Dalil dari tingkatan pertama dan kedua di atas adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al Hajj [22]: 70). Kemudian dalil dari tingkatan ketiga di atas adalah firman Allah (yang artinya), “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwir [81]: 29). Sedangkan untuk tingkatan keempat, dalilnya adalah firman Allah (yang artinya), “Allah menciptakan kamu dan apa saja yang kamu perbuat.” (QS. Ash-Shaffaat [37]: 96). Pada ayat ‘Wa ma ta’malun’ (dan apa saja yang kamu perbuat) menunjukkan bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Allah.
Macam-Macam Takdir
Takdir itu ada 2 macam:
[1] Takdir umum mencakup segala yang ada. Takdir ini dicatat di Lauhul Mahfuzh. Dan Allah telah mencatat takdir segala sesuatu hingga hari kiamat. Takdir ini umum bagi seluruh makhluk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan Allah adalah qalam (pena). Allah berfirman kepada qalam tersebut, “Tulislah”. Kemudian qalam berkata, “Wahai Rabbku, apa yang akan aku tulis?” Allah berfirman, “Tulislah takdir segala sesuatu yang terjadi hingga hari kiamat.” (HR. Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud).
[2] Takdir yang merupakan rincian dari takdir yang umum. Takdir ini terdiri dari:
(a) Takdir ‘Umri yaitu takdir sebagaimana terdapat pada hadits Ibnu Mas’ud, di mana janin yang sudah ditiupkan ruh di dalam rahim ibunya akan ditetapkan mengenai 4 hal: (1) rizki, (2) ajal, (3) amal, dan (4) sengsara atau berbahagia.
(b) Takdir Tahunan yaitu takdir yang ditetapkan pada malam lailatul qadar mengenai kejadian dalam setahun. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan [44]: 4). Ibnu Abbas mengatakan, “Pada malam lailatul qadar, ditulis pada ummul kitab segala kebaikan, keburukan, rizki dan ajal yang terjadi dalam setahun.” (Lihat Ma’alimut Tanzil, Tafsir Al Baghowi)
Seorang muslim harus beriman dengan takdir yang umum dan terperinci ini. Barangsiapa yang mengingkari sedikit saja dari keduanya, maka dia tidak beriman kepada takdir. Dan berarti dia telah mengingkari salah satu rukun iman yang wajib diimani.
Salah Dalam Menyikapi Takdir
Dalam menyikapi takdir Allah, ada yang mengingkari takdir dan ada pula yang terlalu berlebihan dalam menetapkannya.
Yang pertama ini dikenal dengan Qodariyyah. Dan di dalamnya ada dua kelompok lagi. Kelompok pertama adalah yang paling ekstrem. Mereka mengingkari ilmu Allah terhadap segala sesuatu dan mengingkari pula apa yang telah Allah tulis di Lauhul Mahfuzh. Mereka mengatakan bahwa Allah memerintah dan melarang, namun Allah tidak mengetahui siapa yang taat dan berbuat maksiat. Perkara ini baru saja diketahui, tidak didahului oleh ilmu Allah dan takdirnya. Namun kelompok seperti ini sudah musnah dan tidak ada lagi.
Kelompok kedua adalah yang menetapkan ilmu Allah, namun meniadakan masuknya perbuatan hamba pada takdir Allah. Mereka menganggap bahwa perbuatan hamba adalah makhluk yang berdiri sendiri, Allah tidak menciptakannya dan tidak pula menghendakinya. Inilah madzhab mu’tazilah.
Kebalikan dari Qodariyyah adalah kelompok yang berlebihan dalam menetapkan takdir sehingga hamba seolah-olah dipaksa tanpa mempunyai kemampuan dan ikhtiyar (usaha) sama sekali. Mereka mengatakan bahwasanya hamba itu dipaksa untuk menuruti takdir. Oleh karena itu, kelompok ini dikenal dengan Jabariyyah.
Keyakinan dua kelompok di atas adalah keyakinan yang salah sebagaimana ditunjukkan dalam banyak dalil. Di antaranya adalah firman Allah (yang artinya), “(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwir [81]: 28-29). Ayat ini secara tegas membantah pendapat yang salah dari dua kelompok di atas. Pada ayat, “(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus” merupakan bantahan untuk jabariyyah karena pada ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak (pilihan) bagi hamba. Jadi manusia tidaklah dipaksa dan mereka berkehendak sendiri. Kemudian pada ayat selanjutnya, “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam” merupakan bantahan untuk qodariyyah yang mengatakan bahwa kehendak manusia itu berdiri sendiri dan diciptakan oleh dirinya sendiri tanpa tergantung pada kehendak Allah. Ini perkataan yang salah karena pada ayat tersebut, Allah mengaitkan kehendak hamba dengan kehendak-Nya.
Keyakinan yang Benar Dalam Mengimani Takdir
Keyakinan yang benar adalah bahwa semua bentuk ketaatan, maksiat, kekufuran dan kerusakan terjadi dengan ketetapan Allah karena tidak ada pencipta selain Dia. Semua perbuatan hamba yang baik maupun yang buruk adalah termasuk makhluk Allah. Dan hamba tidaklah dipaksa dalam setiap yang dia kerjakan, bahkan hambalah yang memilih untuk melakukannya.
As Safariny mengatakan, “Kesimpulannya bahwa mazhab ulama-ulama terdahulu (salaf) dan Ahlus Sunnah yang hakiki adalah meyakini bahwa Allah menciptakan kemampuan, kehendak, dan perbuatan hamba. Dan hambalah yang menjadi pelaku perbuatan yang dia lakukan secara hakiki. Dan Allah menjadikan hamba sebagai pelakunya, sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah” (QS. At Takwir [81]: 29). Maka dalam ayat ini Allah menetapkan kehendak hamba dan Allah mengabarkan bahwa kehendak hamba ini tidak terjadi kecuali dengan kehendak-Nya. Inilah dalil yang tegas yang dipilih oleh Ahlus Sunnah.”
Sebagian orang ada yang salah paham dalam memahami takdir. Mereka menyangka bahwa seseorang yang mengimani takdir itu hanya pasrah tanpa melakukan sebab sama sekali. Contohnya adalah seseorang yang meninggalkan istrinya berhari-hari untuk berdakwah keluar kota. Kemudian dia tidak meninggalkan sedikit pun harta untuk kehidupan istri dan anaknya. Lalu dia mengatakan, “Saya pasrah, biarkan Allah yang akan memberi rizki pada mereka”. Sungguh ini adalah suatu kesalahan dalam memahami takdir.
Ingatlah bahwa Allah memerintahkan kita untuk mengimani takdir-Nya, di samping itu Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil sebab dan melarang kita bermalas-malasan. Apabila kita telah mengambil sebab, namun kita mendapatkan hasil yang sebaliknya, maka kita tidak boleh berputus asa dan bersedih karena hal ini sudah menjadi takdir dan ketentuan Allah. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu. Dan minta tolonglah pada Allah dan janganlah malas. Apabila kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu berkata: ‘Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’, tetapi katakanlah: ‘Qodarollahu wa maa sya’a fa’al’ (Ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya) karena ucapan’seandainya’ akan membuka (pintu) setan.” (HR. Muslim)
Buah Beriman Kepada Takdir
Di antara buah dari beriman kepada takdir dan ketetapan Allah adalah hati menjadi tenang dan tidak pernah risau dalam menjalani hidup ini. Seseorang yang mengetahui bahwa musibah itu adalah takdir Allah, maka dia yakin bahwa hal itu pasti terjadi dan tidak mungkin seseorang pun lari darinya.
Dari Ubadah bin Shomit, beliau pernah mengatakan pada anaknya, “Engkau tidak dikatakan beriman kepada Allah hingga engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk dan engkau harus mengetahui bahwa apa saja yang akan menimpamu tidak akan luput darimu dan apa saja yang luput darimu tidak akan menimpamu. Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takdir itu demikian. Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak beriman seperti ini, maka dia akan masuk neraka.” (Shohih. Lihat Silsilah Ash Shohihah no. 2439)
Maka apabila seseorang memahami takdir Allah dengan benar, tentu dia akan menyikapi segala musibah yang ada dengan tenang. Hal ini pasti berbeda dengan orang yang tidak beriman pada takdir dengan benar, yang sudah barang tentu akan merasa sedih dan gelisah dalam menghadapi musibah. Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk sabar dalam menghadapi segala cobaan yang merupakan takdir Allah.
Ya Allah, kami meminta kepada-Mu surga serta perkataan dan amalan yang mendekatkan kami kepadanya. Dan kami berlindung kepada-Mu dari neraka serta perkataan dan amalan yang dapat mengantarkan kami kepadanya. Ya Allah, kami memohon kepada-Mu, jadikanlah semua takdir yang Engkau tetapkan bagi kami adalah baik. Amin Ya Mujibbad Da’awat.
Sumber Rujukan Utama:
[1] Al Irsyad ila Shohihil I’tiqod, Syaikh Fauzan Al Fauzan
[2] Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin
***
Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

Keimanan seorang mukmin yang benar harus mencakup enam rukun. Yang terakhir adalah beriman terhadap takdir Allah, baik takdir yang baik maupun takdir yang buruk.  Salah memahami keimanan terhadap takdir dapat berakibat fatal, menyebabkan batalnya keimanan seseorang. Terdapat beberapa permasalahan yang harus dipahami oleh setiap muslim terkait masalah takdir ini. Semoga paparan ringkas ini dapat membantu kita untuk memahami keimanan yang benar terhadap takdir Allah. Wallahul musta’an.
Antara Qodho’ dan Qodar
Dalam pembahasan takdir, kita sering mendengar istilah qodho’ dan qodar. Dua istilah yang serupa tapi tak sama. Mempunyai makna yang sama jika disebut salah satunya, namun memiliki makna yang berbeda tatkala disebutkan bersamaan.[1] Jika disebutkan qodho’ saja maka mencakup makna qodar, demikian pula sebaliknya. Namun jika disebutkan bersamaan, maka qodho’ maknanya adalah sesuatu yang telah ditetapkan Allah pada makhluk-Nya, baik berupa penciptaan, peniadaan, maupun perubahan terhadap sesuatu. Sedangkan qodar maknanya adalah sesuatu yang telah ditentukan Allah sejak zaman azali. Dengan demikian qodar ada lebih dulu kemudian disusul dengan qodho’.[2]
Empat Prinsip Keimanan kepada Takdir
Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah. Perlu kita ketahui bahwa keimanan terhadap takdir harus mencakup empat prinsip. Keempat prinsip ini harus diimani oleh setiap muslim.
Pertama: Mengimani bahwa Allah Ta’ala mengetahui dengan ilmunya yang azali dan abadi tentang segala sesuatu yang terjadi baik perkara yang kecil maupun yang besar, yang nyata maupun yang tersembunyi, baik itu perbuatan yang dilakukan oleh Allah maupun perbuatan makhluknya. Semuanya terjadi dalam pengilmuan Allah Ta’ala.
Kedua: Mengimanai bahwa Allah Ta’ala telah menulis dalam lauhul mahfudz catatan takdir segala sesuatu sampai hari kiamat. Tidak ada sesuatupun yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi kecuali telah tercatat.
Dalil kedua prinsip di atas terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَافِي السَّمَآءِ وَاْلأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ {70}
Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah” (QS. Al Hajj:70).
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَيَعْلَمُهَآ إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَافِي الْبَرِّوَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ يَعْلَمُهَا وَلاَحَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ اْلأَرْضِ وَلاَرَطْبٍ وَلاَيَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مًّبِينٍ {59}
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)”” (QS. Al An’am:59).
Sedangkan dalil dari As Sunnah, di antaranya adalah sabda Rasulullah shalallhu ‘alaihi wa salam,
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
… Allah telah menetapkan takdir untuk setiap makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi[3]
Ketiga: Mengimani bahwa kehendak Allah meliputi segala sesuatu, baik yang terjadi maupun yang tidak terjadi, baik perkara besar maupun kecil, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang terjadi di langit maupun di bumi. Semuanya terjadi atas kehendak Allah Ta’ala, baik itu perbuatan Allah sendiri maupun perbuatan makhluknya.
Keempat: Mengimani dengan penciptaan Allah. Allah Ta’ala menciptakan segala sesuatu baik yang besar maupun kecil, yang nyata dan tersembunyi. Ciptaan Allah mencakup segala sesuatu dari bagian makhluk beserta sifat-sifatnya. Perkataan dan perbuatan makhluk pun termasuk ciptaan Allah.
Dalil kedua prinsip di atas adalah firman Allah Ta’ala,
اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَىْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ وَكِيلٌ {62} لَّهُ مَقَالِيدُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا بِئَايَاتِ اللهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ {63}
“.Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. Kepunyaan-Nyalah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi. Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi.”(QS. Az Zumar 62-63)
وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَاتَعْمَلُونَ {96}
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu“.” (QS. As Shafat:96).[4]
Antara Kehendak Makhluk dan Kehendak-Nya
Beriman dengan benar terhadap takdir bukan berarti meniadakan kehendak dan kemampuan manusia untuk berbuat. Hal ini karena dalil syariat dan realita yang ada menunjukkan bahwa manusia masih memiliki kehendak untuk melakukan sesuatu.
Dalil dari syariat, Allah Ta’ala telah berfirman tentang kehendak makhluk,
ذَلِكَ الْيَوْمُ الْحَقُّ فَمَن شَآءَ اتَّخَذَ إِلىَ رَبِّهِ مَئَابًا {39}
“Itulah hari yang pasti terjadi. Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya.” (QS. An Nabaa’:39)
نِسَآؤُكُمْ حَرْثُ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ… {223}
“Isteri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. …”(Al Baqoroh:223)
Adapun tentang kemampuan makhluk Allah menjelaskan,
فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا خَيْرًا لأَنفُسِكُمْ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ {16}
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta’atlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu . Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At Taghobun :16)
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَاكَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَااكْتَسَبَتْ رَبَّنَا …{286}
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya….”(QS. Al Baqoroh:286)
Sedangkan realita yang ada menunjukkan bahwa setiap manusia mengetahui bahwa dirinya memiliki kehendak dan kemampuan. Dengan kehendak dan kemampuannya, dia melakukan atau meninggalkan sesuatu. Ia juga bisa membedakan antara sesuatu yang terjadi dengan kehendaknya (seperti berjalan), dengan sesuatu yang terjadi tanpa kehendaknya, (seperti gemetar atau bernapas). Namun, kehendak maupun kemampuan makhluk itu terjadi dengan kehendak dan kemampuan Allah Ta’la karena Allah berfirman,
لِمَن شَآءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ {28} وَمَاتَشَآءُونَ إِلآَّ أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ {29}
“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwiir:28-29). Dan karena semuanya adalah milik Allah maka tidak ada satu pun dari milik-Nya itu yang tidak diketahui dan tidak dikehendaki oleh-Nya.[5]
Macam-Macam Takdir
Pembaca yang dirahmati Allah, perlu kita ketahui bahwa takdir ada beberapa macam:
[1] Takdir Azali. Yakni ketetapan Allah sebelum penciptaan langit dan bumi ketika Allah Ta’ala menciptakan qolam (pena). Allah berfirman,
قُل لَّن يُصِيبَنَآ إِلاَّ مَاكَتَبَ اللهُ لَنَا هُوَ مَوْلاَنَا وَعَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ {51}
Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (QS. At Taubah:51)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallaam bersabda, “… Allah telah menetapkan takdir untuk setiap makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi[6]
[2] Takdir Kitaabah. Yakni pencatatan perjanjian ketika manusia ditanya oleh Allah:”Bukankah Aku Tuhan kalian?”. Allah Ta’ala berfirman,
} وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَآ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ {172} أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ ءَابَآؤُنَا مِن قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَةً مِّن بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنًا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ {173}
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengata-kan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu ?” (QS. Al A’raaf 172-173).
[3] Takdir ‘Umri. Yakni ketetapan Allah ketika penciptaan nutfah di dalam rahim, telah ditentukan jenis kelaminnya, ajal, amal, susah senangnya, dan rizkinya. Semuanya telah ditetapkan, tidak akan bertambah dan tidak berkurang. Allah Ta’ala berfirman,
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِناَّ خَلَقْنَاكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِن مُضْغَةٍ مُّخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ وَنُقِرُّ فِي اْلأَرْحَامِ مَانَشَآءُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلاً ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أُشُدَّكُمْ وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّى وَمِنكُم مَّن يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلاَ يَعْلَمَ مِن بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئًا وَتَرَى اْلأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَآ أَنزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَآءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنبَتَتْ مِن كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ {5}
Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (QS. Al Hajj:5)
[5] Takdir Hauli. Yakni takdir yang Allah tetapkan pada malam lailatul qadar, Allah menetapkan segala sesuatu yang terjadi dalam satu tahun. Allah berfirman,
حم {1} وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ {2} إِنَّآ أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ {3} فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ {4} أَمْرًا مِّنْ عِندِنَآ إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ {5}
Haa miim . Demi Kitab (Al Qur’an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah , (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul” (QS. Ad Dukhaan:1-5)
[5] Takdir Yaumi. Yakni  pnentuan terjadinya takdir pada waktu yang telah ditakdirkan sbelumnya. Allah berfirman,
يَسْئَلُهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ {29}
Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadaNya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan . “ (QS. Ar Rahmaan: 29). Ibnu Jarir meriwayatkan dari Munib bin Abdillah bin Munib Al Azdiy dari bapaknya berkata, “Rasulullah membaca firman Allah “ Setiap waktu Dia dalam kesibukan”, maka kami bertanya: Wahai Rasulullah apakah kesibukan yang dimaksud?. Rasulullah bersabda :” Allah mengampuni dosa, menghilangkan kesusahan, dan meninggikan suara serta merendahkan suara yang lain[7]
Sikap Pertengahan Dalam Memahami Takdir
Diantara prinsip ahlus sunnah adalah bersikap pertengahan dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah, tidak sebagaimana sikap ahlul bid’ah. Ahlus sunnah beriman bahwa Allah telah menetapkan seluruh taqdir sejak azali, dan Allah mengetahui takdir yang akan terjadi pada waktunya dan bagaimana bentuk takdir tersebut, semuanya terjadi sesuai dengan takdir yang telah Allah tetapkan.
Adapun orang-orang yang menyelisihi Al Quran dan As Sunnah, mereka bersikap berlebih-lebihan. Yang satu terlalu meremehkan dan yang lain melampaui batas. Kelompok Qodariyyah, mereka mengingkari adanya takdir. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak menakdirkan perbuatan hamba. Menurut mereka perbuatan hamba bukan makhluk Allah, namun hamba sendirilah yang menciptakan perbuatannya. Mereka mengingkari penciptaan Allah terhadap amal hamba.
Kelompok yang lain adalah yang  terlalu melampaui batas dalam menetapkan takdir. Mereka dikenal dengan kelompok Jabariyyah. Mereka berlebihan dalam menetapkan takdir dan menafikan adanya kehendak hamba dalam perbuatannya. Mereka mengingkari adanya perbuatan hamba dan menisbatkan semua perbuatan hamba kepada Allah. Jadi seolah-olah hamba dipaksa dalam perbuatannya.[8]
Kedua kelompok di atas telah salah dalam memahai takdir sebagaimana ditunjukkan dalam banyak dalil. Di antaranya firman Allah ‘Azza wa Jalla,
لِمَن شَآءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ {28} وَمَاتَشَآءُونَ إِلآَّ أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ {29}
“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.”(QS. At Takwiir:28-29)
Pada ayat (yang artinya), “ (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menempuh jalan yang lurus” merupakan bantahan untuk Jabariyyah karena pada ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak bagi hamba. Hal ini bertentangan dengan keyakinan mereka yang mengatakan bahwa hamba dipaksa tanpa memiliki kehendak. Kemudian Allah berfirman (yang artinya), “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam.” Dalam ayat ini terdapat bantahan untuk Qodariyah yang mengatakan bahwa kehendak manusia itu berdiri sendiri dan diciptakan oleh hamba tanpa sesuai dengan  kehendak Allah karena Allah mengaitkan kehendak hamba dengan kehendak-Nya.[9]
Takdir Baik dan Takdir Buruk
Takdir terkadang disifati dengan takdir baik dan takdir buruk. Takdir yang baik sudah jelas maksudnya. Lalu apa yang dimaksud dengan takdir yang buruk? Apakah berarti Allah berbuat sesuatu yang buruk? Dalam hal ini kita perlu memahami antara takdir yang merupakan perbuatan Allah dan dampak/hasil dari perbuatan tersebut. Jika takdir disifati buruk, maka yang dimaksud adalah buruknnya sesuatu yang ditakdirkan tersebut, bukan takdir yang merupakan perbuatan Allah, karena tidak ada satu pun perbuatan Allah yang buruk. Seluruh perbuatan Allah mengandung kebaikan dan hikmah. Jadi keburukan yang dimaksud ditinjau dari sesuatu yang ditakdirkan/hasil perbuatan, bukan ditinjau dari perbuatan Allah. Untuk lebih jelasnya bisa kita contohkan sebagai berikut.
Seseorang yang terkena kanker tulang ganas pada kaki misalnya, terkadang membutuhkan tindakan amputasi (pemotongan bagian tubuh) untuk mencegah penyebaran kanker tersebut. Kita sepakat bahwa terpotongnya kaki adalah sesuatu yang buruk. Namun pada kasus ini, tindakan melakukan amputasi (pemotongan kaki) adalah perbuatan yang baik. Walaupun hasil perbuatannya buruk (yakni terpotongnya kaki), namun tindakan amputasi adalah perbuatan yang baik. Demikian pula dalam kita memahami takdir yang Allah tetapkan. Semua perbuatan Allah adalah baik, walaupun terkadang hasilnya adalah sesuatu yang tidak baik bagi hambanya.
Namun yang perlu diperhatikan, bahwa hasil takdir yang buruk terkadang di satu sisi buruk, akan tetapi mengandung kebaikan di sisi yang lain. Allah Ta’ala berfirman :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ {41}
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar Ruum:41). Kerusakan yang terjadi pada akhirnya menimbulkan kebaikan. Oleh karena itu, keburukan yang terjadi dalam takdir bukanlah keburukan yang hakiki, karena terkadang akan menimbulkan hasil akhir berupa kebaikan.[10]
Bersemangatlah, Jangan Hanya Bersandar Pada Takdir
Sebagian orang memiliki anggapan yang salah dalam memahami takdir. Mereka hanya pasrah terhadap takdir tanpa melakukan usaha sama sekali. Sunngguh, ini adalah kesalahan yang nyata.  Bukankah Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil sebab dan melarang kita dari bersikap malas? Apabila kita sudah mengambil sebab dan mendapatkan hasil yang tidak kita inginkan, maka kita tidak boleh sedih dan berputus asa karena semuanya sudah merupakan ketetapan Allah.  Oleh karena itu, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaithon.”[11] [12]
Faedah Penting
Keimanan yang benar terhadap takdir akan membuahkan hal-hal penting, di antaranya sebagai berikut :
Pertama: Hanya bersandar kepada Allah ketika melakukan berbagai sebab, dan tidak bersandar kepada sebab itu sendiri. Karena segala sesuatu tergantung pada takdir Allah.
Kedua: Seseorang tidak sombong terhadap dirinya sendiri ketika tercapai tujuannya, karena keberhasilan yang ia dapatkan merupakan nikmat dari Allah, berupa sebab-sebab kebaikan dan keberhasilan yang memang telah ditakdirkan oleh Allah. Kekaguman terhadap dirinya sendiri akan melupakan dirinya untuk mensyukuri nikmat tersebut.
Ketiga: Munculnya ketenangan dalam hati terhadap takdir Allah yang menimpa dirinya, sehingga dia tidak bersedih atas hilangnya sesuatu yang dicintainya atau ketika mendapatkan sesuatu yang dibencinya. Sebab semuanya itu terjadi dengan ketentuan Allah. Allah berfirman,
مَآأَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَفِي أَنفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ {22} لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَافَاتَكُمْ وَلاَتَفْرَحُوا بِمَآ ءَاتَاكُمْ …{23}
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu…” (QS. Al Hadiid:22-23).[13]
Demikian paparan ringkas seputar keimanan terhadap takdir. Semoga bermanfaat. Alhamdulillahiladzi bi ni’matihi tatimmush shaalihat.
Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki
Muroja’ah: M. A. Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

[1] Kata qodho dan qadar ini serupa dengan kata iman dan islam, fakir dan miskin. Jika keduanya disebut bersamaan, maka makna keduanya berbeda dan jika disebut secara bersendirian, maka makna keduanya sama. [ed] [2] Lihat Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah hal 551. Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin. Dalam kitab Syarh al ‘Aqidah al Washitiyah. Kumpulan Ulama. Penerbit Daarul Ibnul Jauzi
[3] HR. Muslim 2653.
[4] Taqriib Tadmuriyah hal 86-87, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin. Penerbit Daarul Bashiiroh.
[5] Lihat Syarh Ushuulil Iman hal 53-54.  Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin. Penerbit Daarul Qasim. Cetakan pertama 1419 H
[6] HR. Muslim
[7] Diringkas dari Ma’aarijul Qobuul hal 503-509. Syaihk Hafidz bin Ahmad Hakami. Penerbit Darul Kutub ‘Ilmiyah. Cetakan pertama 1424 H/2004 M
[8] Lihat Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid hal 49-51. Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi. Penerbit Daar Adwaus Salaf. Cetakan pertama 1428/2007
[9] Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqad hal 243-244. Syaikh Sholih Al Fauzan. Penerbit Maktabah Salsabiil Cetakan pertama tahun 2006.
[10] Lihat Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah hal 45, Syaikh ‘Utsaimin.
[11] HR. Muslim 2664
[12] Lihat Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqad hal 245-246.
[13] Syarh Ushuulil Iman hal 57-58.

oleh: Syaiful Anshor

ANDA mungkin pernah dengar buku Altneland (The Old New Land) dan Der Judenstaat (The Jewish State)? Buku The Old New Land tidak lain adalah buku sastra biasa yang ditulis seorang Yahudi bernama Theodore Herzl.

Lalu, apa pentinganya dan apa kaitan buku tersebut dengan tulisan ini?” Penulis sengaja menjadikan nama buku ini sebagai lead artikel.
Ada dua hal pentiang. Pertama, untuk memancing rasa penasaran Anda. Kedua,  untuk mengungkap fakta di balik efek buku tersebut.   

Mohammad Fauzdhil Adhim, kolumnis rubrik khusus Majalah Suara Hidayatullah dalam bukunya, Inspiring Words for Writers, menulis sangat menarik. Ia mengatakan, gara-gara buku fiksi tersebut, jutaan orang Yahudi terinspirasi untuk mendirikan sebuah negara Israel. Dan, benar! Jutaan orang yahudi yang kala itu tersebar di berbagai belahan dunia beramai-ramai datang ke negara Islam yang terdapat kiblat pertama, Al Aqsha, Palestina. Awalnya, mereka datang sebagai pengungsi dan dikasihani. Namun, tampaknya mereka tidak berbalas budi. Sifat asli sebagai orang penindas lambat-laun ditampakkan.  

Mimpi negara Israel pun terwujud. Mereka lalau berhasil mendirikan negara Israel—meski kita tidak mengakuinya karena ilegal—setelah menjajah Palestina. Tidak saja itu, mereka bahkan telah menguasai Masjidil Aqsha. Parahnya, mereka mengusir sang tuan rumah. Mencaplok tanah penduduk asli Palestina. Menyiksa dan membunuh mereka tanpa pandang bulu dan belas kasihan. Dan, ironisnya lagi, mereka memenjarakan umat Islam Palestina di sebuah sel yang dinamakan “Penjara raksasa.” Tak terhitung lagi pejuang yang syahid. Tak terhitung lagi bayi, bocah, anak, dan ibu-ibu yang meregang nyawa tanpa dosa. Sekali lagi, itulah efek “The Old New Land,” sebuah buku fiksi tipis.   

Kita tinggalkan buku tersebut. Kini, mari sejenak berjalan-jalan ke perpustakaan dan toko buku Islam, yang ada di kota kita. Atau juga ke perpustakaan pribadi yang terdapat di setiap rumah umat Islam. Coba lihat buku-buku yang tersusun rapi di rak, terutama kolektor kitab tafsir al Quran. Mari, kita ambil saja satu. Sebut saja, Kitab Tafsir Ibnu Katsier. Al Hafidz ‘Imaduddin Abu Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir atau yang sering disebut Ibnu Katsir adalah penulis kitab masyhur ini. Kitab tafsir itu sangat bernas dan populer serta menjadi rujukan umat Islam di belahan bumi manapun. Coba terka berapa usianya sekarang. Tentu berbeda ratusan tahun dengan Anda.

Pertanyannya: kenapa beliau masih dikenal dan pemikirannya masih dikaji jutaan umat atau bahkan milyaran umat Islam hingga abad ini? Jawabanya satu dan pendek: karena Kitab Tafsir Ibnu Katsier yang beliau tulis! Andai tanpa warisan kitab tersebut, mustahil beliau akan “hidup” hingga sekarang dan karyanya bisa dinikmati. Bukankah tidak sedikit tokoh hebat yang memiliki pemikiran cemerlang, namun karena tidak meninggalkan warisan tulisan, lalu hilang seperti hembusan angin. Karena itu, benang merahnya: Jika Anda ingin hidup “kekal” dan dikenang orang hingga ratusan tahun atau bahkan ribuan tahu, buatlah warisan tulisan. Ya, mari kita tradisikan mewarisi tulisan untuk generasi di bawah kita. Karena itu, maka menulislah!

Buku jauh lebih “berharga” dari pada warisan harta yang bisa habis begitu saja, hilang tanpa bekas. Lalu, kenapa penulis itu bisa “kekal?”. Sebab, tulisan itu akan menjadi tabungan akhirat yang tak akan habisnya. Warisan tersebut, jika bermanfaat dan membuat pembacanya dekat kepada Allah dan termotivasi untuk beramal shaleh, maka akan menjadi amal jariyah yang tidak terputus. Pahalanya akan terus mengalir. Setiap larikan kata dalam kalimat yang membentuk paragraf hingga bait terakhir akan berubah menjadi amal jariyah yang  tidak terputus. Dahsyat, bukan?     
    
Dari kitab Ibnu Katsier, mari kita beralih ke buku fiksi yang ditulis sastrawan Muslim masa kini: Habiburrahman El Shirazi. Siapa tak kenal alumnus Universtitas Al Azhar, Kairo Mesir ini? Kalau Anda pergi ke toko buku, karya-karya beliau selalu menghias dan dipajang di rak-rak utama dan semuanya Best Seller. Sebut saja misalnya Ayat-Ayat Cinta, Cinta Suci Zahrana, Ketika Cinta Bertasbih, dan sebagainya. Beberapa novelnya bahkan telah naik layar lebar dan menyedot jutaan penonton. Tidak sedikit yang mengapresiasi dakwah bil qalam Kang Abik. Ia telah memberi sentuhan dakwah dalam dunia sastra.

Dari buku tersebut, kini kita beralih ke terorisme. Loh, apa kaitanya? Ada relasi yang sangat kuat antara pena dengan istilah terorisme. Terorisme hanyalah istilah. Tepatnya istilah yang dibuat oleh yang memiliki kepentingan. Tentu kita sedang tidak membahas substansi apa itu terorisme, karena hingga kini, yang penulis ketahui, definisi terorisme masih debateable dan tidak ada kesepakatan antara dunia Barat dan Timur. Sama-sama punya kepentingan.

Namun, yang disayangkan, term terorisme merugikan umat Islam. Terorisme diidentikkan dengan Islam. Jika terjadi pengeboman, penembakan, pembunuhan, perampokan atau aksi anarkisme lainnya baik di dalam maupun luarnegeri, jari pasti menunjuk umat Islam biang keladinya. Padahal itu belum tentu. Padahal itu oknum. Padahal itu belum diproses secara hukum kronologi penyebab sebenarnya. Dan, lebih berbahayanya lagi, simbol-simbol Islam dibawa. Mulai dari jenggot, cadar, celana cingkrang, herbal, bekam, dan yang berbau Islam lainnya.

Padahal, kalau mau dicerna baik-baik apa kaitannya simbol-simbol tersebut dengan terorisme? Anak kecil saja ketawa mendengarnya. Analisa yang mengada-ada. Irasional. Namun, karena hal itu diulang-ulang media, mindset masyarakat jadi terbentuk dan memercayainya. Itulah efek dramatis sebuah media. Seorang Yahudi pernah berkata: “Kebohongan yang diulang-ulang itu akan menjadi nyata.”

Karena itu, bukan tidak sengaja hal itu dilakukan. Ada propaganda besar di baliknya. Paling tidak, ada usaha untuk menstigmatisasi Islam. Islam diidentikkan dengan ekstrimisme, anarkisme, dan terorisme. Paham-paham yang tidak sejalan dengan ruh Islam. Dan hal itu bertujuan untuk menciptakan Islamophobia: takut kepada Islam. Benar saja. Kini, masyarakat awam banyak yang termakan dengan propaganda  Islamophobia tersebut. Banyak orang awam yang alergi bahkan anti dengan Islam.

Kembali ke tema tulisan. Islamophobia itu tidak lain karena tulisan, karena media! Melawan tulisan harus dengan tulisan. Kita tidak bisa berteriak-teriak sendiri dan memaki-maki mereka. Harus cerdas. Karena itu, harus lahir pejuang-pejuang pena yang bisa menggerakkan dan merubah pola pikir. Memutar balik fakta yang telah diplesetkan. Ada kalimat menarik ketika penulis mengikuti daurah jurnalistik Majalah Suara Hidayatullah beberapa tahun lalu. Salah seorang pemateri dan juga redaktur senior di media Islam terbesar itu berkata, “Mereka boleh punya seribu bom nuklir. Tapi, kita punya sejuta kata-kata. Kita bom mereka dengan kata-kata.”

Kita pernah mendengar sejarah ketika Rasulullah dan para sahabat berperang melawan kafir Quraisy. Dengan jumlah yang tidak berimbang namun selalu meraih kemenangan. Jawabanya satu: pertolongan Allah. Ketika mereka menarik dan membusurkan panah, melembar tombak, dan menyabet pedang sesungguhnya Allah yang menggerakkan. Tangan-tangan mereka hanya sebatas wasilah. Kini, umat Islam di dunia belum sepenuhnya bersatu melawan yahudi untuk merebut kembali al Quds dan Palestina.

Bukan tidak mungkin dengan secarik kertas, dengan beberapa paragraf berita, dan dengan beberapa lembar buku kita bisa menggerakkan hati umat Islam untuk bangkit dan menciutkan nyali orang-orang Yahudi. Sebagaimana buku fiksi tipis The Old New Land tersebut. Yakinlah, bukan ada kekuatan yang Allah hembuskan dalam setiap larik kata. Pegang dan goreskan tinta sekarang. Hidupkan komputer dan tekan tombol key board Anda. Saatnya menulis. Saatnya mewariskan ilmu. Saatnya membuat sejarah!

Penulis adalah Guru Madrasah di Jogjakarta

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget