Articles by "Islam Australia"

Kekurangan lahan dan tingginya biaya penguburan menyebabkan warga Muslim miskin di kota timur Sydney Australia mengalami dilema tak berujung terkait bagaimana menguburkan orang yang mereka cintai.
“Kami membutuhkan dukungan dari masyarakat,” kata Osman Iqbal, direktur layanan pemakaman Shahzeb Janaaza, kepada Herald Sun pada Rabu 31 Oktober kemarin.
“Kita perlu menyingkirkan perbedaan-perbedaan kita dengan tanpa memandang agama dan ras.”
Sydney Muslim sudah sejak lama mengeluhkan bahwa mereka tidak menemukan kuburan yang cukup untuk menguburkan warga muslim yang meninggal.
Kesulitan mereka juga termasuk tingginya biaya penguburan di kota, di negara bagian New South Wales.
Berusaha membantu meringankan masalah tersebut, Shahzeb Janaaza telah meluncurkan program mencari kuburan bagi masyarakat muslim di barat Sydney.
Organisasi non-profit ini telah meluncurkan kampanye mengumpulkan uang untuk proyek pemakaman dan memiliki target bisa mengumpulkan dana sebesar 4 juta dolar.
“Persatuan juga menjadi masalah. Jika masyarakat datang secara bersama-sama, masalah ini akan segera tertangani,” kata Iqbal.
“Kami hanya ingin memiliki tempat untuk menghormati mereka yang telah meninggal.”
Iqbal mengatakan tingginya biaya penguburan dan kekurangan lahan menyebabkan tidak ada pilihan lain bagi umat Islam untuk menguburkan anggota keluarga yang mereka cintai di pemakaman umum yang sudah penuh sesak.
“Riverstone hanya bisa menampung sekitar dua bulan lagi dan Rookwood hingga lima bulan,” katanya, mengacu pada dua pemakaman umum di Sydney.
“Ada 450 Muslim meninggal setiap tahun di NSW dan tidak setiap keluarga mampu secara pribadi menguburkannya karena jasa pemakaman yang mahal.”
New South Wales sendiri adalah rumah bagi 168.788 Muslim, sekitar 49,6 persen dari total penduduk, membuat negara bagian itu memiliki populasi Muslim terbesar, menurut Sensus pemerintah tahun 2006.
Umat Islam telah berada di Australia selama lebih dari 200 tahun, membentuk 1,7 persen dari 20 juta penduduknya.
Islam di Australia adalah agama terbesar kedua setelah Kristen.(fq/oi)


Ned Mannon1
LIVERPOOL — Seorang anggota penasihat Muslim terpilih sebagai walikota Liverpool, sebuah kota di negara bagian New South Wales, pinggiran barat Australia setelah mengalahkan kandidat dari kubu berkuasa, Partai Buruh.
Walikota Ned Mannoun adalah seorang Muslim yang menjadi walikota Liverpool City setelah meraih 43,6 persen suara.
Kemenangannya mengakhiri cengkraman Partai Buruh di dewan penasihat Liverpool yang terletak di negara bagian New South Wales. Partai Buruh, yang mengendalikan kota itu selama dua dekade, mengalami penurunan dukungan. Mannoun sendiri memulai karir politik di Partai Buruh Australia.
Lahir di Boston dari seorang ibu keturunan Libanon dan ayah kelahiran Sierra Leon, Mannoun bangga menjadi seorang pria dengan latar belakang yang berbeda. Di Liverpool, bahasa Arab menjadi bahasa kedua yang dipakai masyarakat. Di kota itu, bahasa Serbia juga banyak digunakan.
Agama Katolik masih dominan dianut warga. Namun Islam menduduki posisi kedua. Menanggapi meningkatnya ketidakpuasan akan kekuasaan Buruh, Mannoun memutuskan untuk mencalonkan diri.
New South Wales dihuni sekitar 168.788 orang Muslim atau sekitar 49,6 persen dari seluruh populasi. Tak heran bila negara bagian ini menjadi habitas masyarakat Muslim terbesar di Australia berdasarkan sensu penduduk tahun 2006 lalu.
Umat Muslim sudah berada di Australia selama lebih dari 200 tahun dan mewakili 1,7 persen dari 20 juta penduduk. Islam adalah agama terbesar kedua di Australia setelah agama Kristen.


Mualaf Australia Ini Bangga Menjadi Muslim

Alexander Husseini
Australia bukanlah negara Islam. Kebudayaan Barat yang dianut Australia pun kerap bertolak belakang dengan ajaran agama Islam.
Tetapi bagi Alexander Husseini, atau Alex, hal ini tidak membuatnya membatasi pergaulan.
"Islam mengajarkan pemeluknya untuk memiliki karakter yang kuat. Sebagai Muslim, kita harus tunjukkan kalau bertingkah laku yang beradab," ujarnya.
Usianya masih terbilang sangat muda, 21 tahun. Tetapi justru ia tidak ingin masa mudanya hilang begitu saja. Ia ingin terus teguh memegang keimanannya, sambil berharap bisa membantu orang lain.
Menurut Alex, jika kita mampu berperilaku seperti apa yang sudah diajarkan Islam, maka orang lain akan semakin menghormati kita. Tak jarang, bahkan menjadi panutan bagi yang lain.
Alex sehari-harinya bekerja membantu bisnis keluarganya, yakni sebuah toko keju yang selalu ramai dikunjungi di pasar terkemuka, Queen Victoria Market di Melbourne.
Ia bukanlah termasuk orang yang malu untuk mengakui dirinya adalah seorang Muslim, ditengah pemberitaan soal Islam yang kerap kali terdengar miring. "Saya jelaskan kepada teman yang lain, jika shalat itu adalah untuk membuat rileks setelah berbagai kesibukan. Juga tempat dimana kita berharap dan berdoa pada Sang Pencipta," kata Alex.
"Mungkin sama saja bagi sebagian yang melakukan yoga, ya itulah shalat bagi saya."
"Sementara, puasa adalah untuk ikut merasakan apa yang dialami oleh mereka yang tidak mampu."
"Bulan Ramadan juga adalah saat yang tepat untuk berbagi. Bayangkan jika kita semua memberikan sumbangan kepada mereka yang membutuhkan, mungkin masalah kemiskinan bisa diatasi," tambahnya.
Di tengah kesibukannya, ia kerap bermain sepak bola, salah satu kegemarannya.
Tak jarang, beberapa diantara temannya kadang merayakan kemenangan dengan berpesta atau minum alkohol, hal yang dilarang dalam ajaran Islam. "Yang terpenting adalah selalu berperilaku terbaik untuk menjaga moral," tanggapnya soal bagaimana menolak ajakan dan godaan dari sekitar.
Alex pun merasa beruntung karena ia tidak pernah mengalami diskriminasi atau kekerasan yang berbau suku dan agama.
Menurutnya, warga Australia tidak akan langsung begitu saja dalam menghakimi atau menilai seseorang. "Di sini orang akan menilai kita secara bertahap, karenanya jika kita terus menunjukkan yang akhlak yang terbaik, maka orang pun akan sungkan menuduh kita macam-macam."
Alex memiliki harapan dan mimpi besar bagi Australia. "Kita antar umat beragama sebenarnya bisa mudah bersatu karena ada kesamaan."
"Kesamaan ajarannya adalah selalu ingin membantu orang yang kesusahan, membantu yang sakit, misalnya," tambahnya. "Jika ini yang dipersatukan, maka akan sangat bermanfaat dan berguna untuk orang lain"

Lembaga Amal Australia Gelar Tur Kuliner Ramadhan
The Benevolent Society’s tak menyia-nyiakan momentum Ramadhan untuk menggelar tur Taste Food Tours 
 
CANBERRA -- Lembaga amal The Benevolent Society’s tak menyia-nyiakan momentum Ramadhan untuk menggelar tur Taste Food Tours yang bertujuan mempromosikan pemahaman yang baik tentang Islam.

"Makanan adalah bagian yang sangat penting dalam bulan Ramadhan, nah kami coba menggelar tur wisata makanan Ramadhan," papar manajer The Benevolent Society’s, Cathy Quinn seperti dikutip Dailytelegraph.co.au, Rabu (15/8).

Quinn mengatakan publik tidak mengetahui bahwa umat Islam memiliki sajian khusus ketika Ramdahan seperti sup, daging, dan makanan penutup. Jadi, pihaknya mengajak peserta untuk mengetahui seperti apa menu berbuka umat Islam.

"Bagi umat Islam, Ramadhan menyimpan tradisi. Bagi kita, itu adalah kesempatan untuk mengenal apa yang menjadi tradisi umat Islam," kata dia.

Didirikan pada 1813, lembaga amal ini membantu masyarakat menghadapi individu yang menolak masuknya kelompok lain dalam masyarakat. Selama dua abad, mereka berhasil menyatukan berbagai kelompok dengan cara yang unik tapi tepat sasaran.

Bagi lembaga amal tersebut, mengenalkan masyarakat Australia tentang Ramadhan merupakan yang pertama. Mereka melihat Ramadhan menyimpan kekayaan spritual. "Apa yang luar biasa dari Ramadhan, setiap Muslim diajak untuk berpuasa. Setelah itu, umat Islam diajak untuk berkomunikasi dengan yang Maha Kuasa. Jadi, semangat spiritualnya tampak sekali," ungkap Quinn.

Populasi Muslim Australia mencapai 1.7 persen dari 20 juta populasi total. Selepas tragedi 9/11, Muslim Australia banyak dicurigai.  Hasil survei tahun 2007 yang dirili Lembaga Pendalaman Isu Australia (IDA) menyebut warga Australia umumnya melihat Islam sebagai ancaman. 

Ini bukan keputusan yang mudah bagi setiap orang untuk menempatkan dirinya pada posisi seseorang yang berlainan agama dan keyakinan yang sama sekali berbeda.
Banyak orang lebih suka berada pada posisi 'zona kenyamanan' (comfort zone) nya masing-masing, yang pada gilirannya akan menumbuhkan perasaan pasif mereka terhadap "orang lain" di sekitarnya.
Tetapi, selalu ada pengecualian!

Salah seorang diantara mereka yang mencoba keluar dari 'comfort zone' adalah Rachael Finch. Rachael merupakan seorang Top Supermodel Australia, bintang televisi, sekaligus mantan Miss Universe Australia.
Ia meluangkan waktu dengan menghabiskan satu hari penuh dengan mencoba mengenakan pakaian jilbab muslimah menutup aurat. Tak hanya itu, ia juga mencoba menyelami kehidupan umat Islam di Australia selama satu hari penuh untuk lebih mengenal secara dekat orang-orang muslim secara langsung.
Untuk mematahkan belenggu stereotip, Rachael memakai jilbab dan memulai langkah eksperimen sosial ekstrem dari 'biasanya' dimana ia berinteraksi dengan komunitas Muslim.

Rachael mencoba masuk mengikuti jejak langkah Rebecca Kay, seorang Muslimah Australia yang taat dan seorang ibu beranak empat. Rebecca lahir di Australia dan menjadi Muslim sekitar delapan tahun yang lalu. Sebelumnya, Rebecca adalah seorang peselancar wanita Wollongong.
"Sebelum saya menjadi seorang Muslim, saya merupakan seorang pembenci Islam. Saya dulu biasa mendengarkan radio dan saling berkomentar, dan memiliki sikap yang sama seperti kebanyakan pembenci Islam lainnya. Saya dulu suka berkata kepada orang-orang 'jika kalian (orang muslim_red) tidak senang di sini, maka silakan kalian kembali ke tempat asal kalian', "kata Kay seperti dilaporkan Muslimvillage.com.

Mengomentari eksperimen ekstremnya, Rachael mengatakan, "Senang rasanya saya bisa masuk dan mengikuti jejak posisi Rebecca, dan menyaksikan dengan sendiri bahwa stereotip terhadap perempuan muslim Australia (yang kerap digemborkan media_red) tidak terlalu benar," katanya.
"Ini merupakan keberhasilan -untuk melihat multikulturalisme adalah tentang melihat akhir dari hari, kita semua warga Australia tidak peduli apa warna kulit kita, atau apa yang kita yakini, atau apa latar belakang kita- kita semua sama." urainya.

"Mereka cerdas, mereka pintar, mereka mandiri, mereka ingin karir dan mereka menginginkan sebuah keluarga, dan bagi saya itu semua memberdayakan," pungkasnya.

Rebecca berharap bahwa sesuatu yang baik bisa datang dari pengalaman Rachael, dan hal itu diharapkan dapat mendorong orang untuk lebih berpikiran terbuka.
Saksikan laporan berita kisah Rachael Finch:
*Keterangan gambar: Rachael Finch mengenakan jilbab

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget