Articles by "Tokoh Islam Dunia"

Ibnu Battuta : Kisah Sang PengembaraPencapaian Ibnu Battuta yang luar biasa itu, konon dirampas dan disembunyikan Kerajaan Prancis saat menjajah benua Afrika. ''Aku tinggalkan Tangier, kampung halamanku, pada Kamis 2 Rajab 725 H/ 14 Juni 1325 M. Saat itu usiaku baru 21 tahun empat bulan. Tujuanku adalah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci di Makkah dan berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah,'' kisah Ibnu Battuta - pengembara dan penjelajah Muslim terhebat di dunia -- membuka pengalaman perjalanan panjangnya dalam buku catatannya.
Dengan penuh kesedihan, ia meninggalkan orangtua serta sahabat sahabatnya di Tangier. Tekadnya sudah bulat untuk menunaikan rukun iman kelima. Perjalananya menuju ke Baitullah telah membawanya bertualang dan menjelajahi dunia. Seorang diri, dia mengarungi samudera dan menjelajah daratan demi sebuah tujuan mulia.

''Kehebatan Ibnu Battuta hanya dapat dibandingkan dengan pelancong terkemuka Eropa, Marcopolo (1254 M -1324 M),'' ujar Sejarawan Brockelmann mengagumi ketangguhan sang pengembara Muslim itu.

Selama hampir 30 tahun, dia telah mengunjungi tiga benua mulai dari Afrika Utara, Afrika Barat, Eropa Selatan, Eropa Timur, Timur Tengah, India, Asia engah, Asia Tenggara, dan Cina.

Perjalanan panjang dan pengembaraannya mengelilingi dunia itu mencapai 73 ribu mil atau sejauh 117 ribu kilometer. Tak heran, bila kehebatannya mampu melampaui sejumlah penjelajah Eropa yang diagung-agungkan Barat seperti Christopher Columbus, Vasco de Gama, dan Magellan yang mulai berlayar 125 setelah Ibnu Battuta.

Sejarawan Barat, George Sarton, mencatat jarak perjalanan yang ditempuh Ibnu Battuta melebihi capaian Marco Polo. Tak heran, bila Sarton geleng-geleng kepala dan mengagumi ketangguhan seorang Ibnu Battuta yang mampu mengarungi lauatan dan menjelajahi daratan sepanjang 73 ribu mil itu. Sebuah pencapaian yang tak ada duanya di masa itu.

Lalu siapakah sebenarnya pengembara tangguh bernama Ibnu Battuta itu? Pria kelahiran Tangier 17 Rajab 703 H/ 25 Februari 1304 itu bernama lengkap Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim At-Tanji, bergelar Syamsuddin bin Battutah. Sejak kecil, Ibnu Battuta dibesarkan dalam keluarga yang taat menjaga tradisi Islam. Ibnu Battuta begitu tertarik untuk mendalami ilmu-ilmu fikih dan sastra dan syair Arab.

Kelak, ilmu yang dipelajarinya semasa kecil hingga dewasa itu banyak membantunya dalam melalui perjalanan panjangnya. Ketika Ibnu Battuta tumbuh menjadi seorang pemuda, dunia Islam terbagi-bagi atas kerajaan-kerajaan dan dinasti. Ia sempat mengalami kejayaan Bani Marrin yang berkuasa di Maroko pada abad ke-13 dan 14 M.

Latar belakang Ibnu Battuta begitu jauh berbeda bila dibandingkan Marco Polo yang seorang pedagang dan Columbus yang benar-benar seorang petualang sejati. Meski Ibnu Battuta adalah seorang teologis, sastrawan puis,i dan cendekiawan, serta humanis, namun ketangguhannya mampu mengalahkan keduanya.

Meski hatinya berat untuk meninggalkan orang-orang yang dicintainya, Ibnu Battuta tetap meninggalkan kampung halamannya untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah yang berjarak 3.000 mil ke arah Timur. Dari Tangier, Afrika Utara dia menuju Iskandariah. Lalu kembali bergerak ke Dimyath dan Kaherah.

Setelah itu, dia menginjakkan kakinya di Palestina dan selanjutnya menuju Damaskus. Ia lalu berjalan kaki ke Ladzikiyah hingga sampai di Allepo. Pintu menuju Makkah terbuka dihadapannya setelah dia melihat satu kafilah sedang bergerak untuk menunaikan ibadat haji ke Tanah Suci. Ia pun bergabung dengan rombongan itu. Beliau menetap di Makkah selama dua tahun.

Setelah cita-citanya tercapai, Ibnu Battuta, ternyata tak langsung pulang ke Tangier, Maroko. Ia lebih memilih untuk meneruskan pengembaraannya ke Yaman melalui jalan laut dan melawat ke Aden, Mombosa, Timur Afrika dan menuju ke Kulwa. Ia kembali ke Oman dan kembali lagi ke Makkah untuk menunaikan Haji pada tahun 1332 M, melaui Hormuz, Siraf, Bahrin dan Yamama.

Itulah putaran pertama perjalanan yang tempuh Ibnu Battuta. Pengembaraan putara kedua, dilalu Ibnu Battuta dengan menjelajahi Syam dan Laut Hitam. I lalumeneruskan pengembaraannya ke Bulgaria, Roma, Rusia, Turki serta pelabuhan terpenting di Laut Hitam yaitu Odesia, kemudian menyusuri sepanjang Sungai Danube.

Ia lalu berlayar menyeberangi Laut Hitam ke Semenanjung Crimea dan mengunjungi Rusia Selatan dan seterusnya ke India. Di India, ia pernah diangkat menjadi kadi. Dia lalu bergerak lagi ke Sri Langka, Indonesia, dan Canton. Kemudian Ibnu Battuta mengembara pula ke Sumatera, Indonesia dan melanjutkan perjalanan melalui laut Amman dan akhirnya eneruskan perjalanan darat ke Iran, Irak, Palestina, dan Mesir.

Beliau lalu kembali ke Makkah untuk menunaikan ibadah hajinya yang ke tujuh pada bulan November 1348 M. Perjalanan putaran ketiga kembali dimulai pada 753 H. Ia terdampar di Mali di tengah Afrika Barat dan akhirnya kembali ke Fez, Maroko pada 1355 M.

Ia mengakhiri cerita perjalannya dengan sebuah kalimat, ''Akhirnya aku sampai juga di kota Fez.'' Di situ dia menuliskan hasil pengembaraannya. Salah seorang penulis bernama Mohad Ibnu Juza menuliskan kisah perjalanannya dengan gaya bahasa yang renyah. Dalam waktu tiga bulan, buku berjudul Persembahan Seorang pengamat tentang Kota-Kota Asing dan Perjalanan yang Mengagumka, diselesaikannya pada 9 Desember 1355 M.

Secara detail, setiap kali mengunjungi sebuah negeri atau negara, Ibnu Battuta mencatat mengenai penduduk, pemerintah, dan ulama. Ia juga mengisahkan kedukaan yang pernah dialaminya seperti ketika berhadapa dengan penjahat, hampir pingsan bersama kapal yang karam dan nyaris dihukum penggal oleh pemerintah yang zalim. Ia meninggal dunia di Maroko pada pada tahun 1377 M.

Kisah pencapaian Ibnu Battuta yang luar biasa itu, konon dirampas dan disembunyikan Kerajaan Prancis saat menjajah benua Afrika. Buktinya, Barat baru mengetahui kehebatannya setelah tiga abad meninggalnya sang pengembara.

Dari Tangier ke Samudera Pasai
Petualangan dan perjalanan panjang yang ditempuh Ibnu Battuta sempat membuatnya terdampar di Samudera Pasai - kerajaan Islam pertama di Nusantara pada abad ke-13 M. Ia menginjakkan kakinya di Aceh pada tahun 1345. Sang pengembara itu singgah di bumi Serambi Makkah selama 15 hari.

Dalam catatan perjalanannya, Ibnu Battuta melukiskan Samudera Pasai dengan begitu indah. ''Negeri yang hijau dengan kota pelabuhannya yang besar dan indah,'' tutur sang pengembara berdecak kagum. Kedatangan penjelajah kondang asal Maroko itu mendapat sambutan hangat dari para ulama dan pejabat Samudera Pasai.

Ia disambut oleh pemimpin Daulasah, Qadi Syarif Amir Sayyir al-Syirazi, Tajudin al-Ashbahani dan ahli fiqih kesultanan. Menurut Ibnu Battuta, kala itu Samudera Pasai telah menjelma sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara. Penjelajah termasyhur itu juga mengagumi Sultan Mahmud Malik Al-Zahir -- penguasa Samudera Pasai.

''Sultan Mahmud Malik Al-Zahir adalah seorang pemimpin yang sangat mengedepankan hukum Islam. Pribadinya sangat rendah hati. Ia berangkat ke masjid untuk shalat Jumat dengan berjalan kaki. Selesai shalat, sultan dan rombongan biasa berkeliling kota untuk melihat keadaan rakyatnya,'' kisah Ibnu Battuta.

Menurut Ibnu Battuta, penguasa Samudera Pasai itu memiliki ghirah belajar yang tinggi untuk menuntut ilmu-ilmu Islam kepada ulama. Dia juga mencatat, pusat studi Islam yang dibangun dii lingkungan kerajaan menjadi tempat diskusi antara ulama dan elit kerajaan.

Selama berpetualang mengelilingi dunia dan menjejakkan kakinya di 44 negara, dalam kitab yang berjudul Tuhfat al-Nazhar, Ibnu Battuta menuturkan telah bertemu dengan tujuh raja yang memiliki kelebihan yang luar biasa.

Ketujuh raja yang dikagumi Ibnu Battuta itu antara lain; raja Iraq yang dinilainya berbudi bahasa; raja Hindustani yang disebutnya sangat ramah; raja Yaman yang dianggapnya berakhlak mulia; raja Turki dikaguminya karena gagah perkasa; Raja Romawi yang sangat pemaaf; Raja Melayu Malik Al-Zahir yang dinilainya berilmu pengetahuan luas dan mendalam, serta raja Turkistan.

Setelah berkelana dan mengembara di Samudera Pasai selama dua pekan, Ibnu Battuta akhirnya melanjutkan perjalannnya menuju Negeri Tirai Bambu Cina. Catatan perjalanan Ibnu Battuta itu menggambarkan pada abad pertengahan, peradaban telah tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara.

Abadi di Kawah Bulan
Nama besar dan kehebatan Ibnu Battuta dalam menjelajahi dunia di abad pertengahan hingga kini tetap dikenang. Bukan hanya umat Islam saja yang mengakui kehebatannya, Barat pun mengagumi sosok Ibnu Battuta. Tak heran, karya-karyanya disimpan Barat.

Sebagai bentuk penghormatan atas dedikasinya, International Astronomy Union (IAU) mengabadikan Ibnu Battuta menjadi nama salah satu kawah bulan. Bagi orang Astronomi, Ibnu Battuta bukan hanya seorang pengembara dan penjelajah paling termasyhur, namun juga sebuah kawah kecil di bulan yang berada di Mare Fecunditas.

Kawah Ibnu Battuta terletak di Baratdaya kawah Lindenbergh dan Timurlaut kawah bulan terkenal Goclenius. Di sekitar kawah Ibnu Battuta tersebar beberapa formasi kawah hantu. Kawah Ibnu Battuta berbentuk bundar dan simetris.

Dasar bagian dalam kawah Ibnu Battuta terbilang luas. Diameter kawah itu mencapai 11 kilometer. Dasar kawah bagian dalamnya terbilang gelap, segelap luarnya. Kawah Ibnu Battuta awalnya bernama Goclenius A. Namun, IAU kemudian memberinya nama Ibnu Battuta.

Selain dijadikan nama kawah di bulan, Ibnu Battuta juga diabadikan dan dikenang masyarakat Dubai lewat sebuah mal atau pusat perbelanjaan bernama Ibnu Battuta Mall. Di sepanjang koridor mal itu dipajangkan hasil penelitian dan penemuan Ibnu Battuta. Meski petualangan dan pengembaraannya telah berlalu enam abad silam, namun kebesaran dan kehebatannya hingga kini tetap dikenang.

( heri ruslan ) Sumber lain wikipedia http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Batutah

Pertumbuhan beliau
Nama: Muhammad bin Yazid bin Mâjah al Qazwînî.
Nama yang lebih familiar adalah Ibnu Mâjah yaitu laqab bapaknya (Yazîd). Bukan nama kakek beliau.
Kuniyah beliau: Abu ‘Abdullâh
Nasab beliau:
  1. Ar Rib’I; merupakan nisbah wala` kepada Rabi’ah, yaitu satu kabilah arab.
  2. al Qazwînî adalah nisbah kepada Qazwîn yaitu nisbah kepada salah satu kota yang terkenal di kawasan ‘Iraq.
Tanggal lahir:
Ibnu Majah menuturkan tentang dirinya; “aku dilahirkan pada tahun 209 hijirah. Referensi-referensi yang ada tidak memberikan ketetapan yang pasti, di mana Ibnu Majah di lahirkan, akan tetapi masa pertumbuhan beliau beradaA di Qazwin. Maka bisa jadi Qazwin merupakan tempat tinggal beliau.
Aktifitas beliau dalam menimba ilmu
Ibnu majah memulai aktifitas menuntut ilmunya di negri tempat tinggalnya Qazwin. Akan tetapi sekali lagi referensi-referensi yang ada sementara tidak menyebutkan kapan beliau memulai menuntut ilmunya. Di Qazwin beliau berguru kepada Ali bin Muhammad at Thanafusi, dia adalah seorang yang tsiqah, berwibawa dan banyak meriwayatkan hadits. Maka Ibnu Majah tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, dia memperbanyak mendengar dan berguru kepadanya. Ath Thanafusi meninggal pada tahun 233 hijriah, ketika itu Ibnu Majah berumur sekitar 24 tahun. Maka bisa di tarik kesimpulan bahwa permulaan Ibnu Majah menuntut ilmu adalah ketika dia berumur dua puluh tahunan.
Ibnu Majah termotivasi untuk menuntut ilmu, dan dia tidak puas dengan hanya tinggal di negrinya, maka beliaupun mengadakan rihlah ilmiahnya ke sekitar negri yang berdampingan dengan negrinya, dan beliau mendengar hadits dari negri-negri tersebut.
Rihlah beliau
Ibnu Majah meniti jalan ahli ilmu pada zaman tersebut, yaitu mengadakan rihlah dalam rangka menuntut ilmu. Maka beliau pun keluar meninggalkan negrinya untuk mendengar hadits dan menghafal ilmu. Berkeliling mengitari negri-negri islam yang menyimpan mutiara hadits. Bakat dan minatnya di bidang Hadis makin besar. Hal inilah yang membuat Ibnu Majah berkelana ke beberapa daerah dan negri guna mencari, mengumpulkan, dan menulis Hadis.
Puluhan negri telah ia kunjungi, antara lain:
Khurasan; Naisabur dan yang lainnya
  1. Ar Ray
  2. Iraq; Baghdad, Kufah, Wasith dan Bashrah
  3. Hijaz; Makkah dan Madinah
  4. Syam; damasqus dan Himsh
  5. Mesir
Guru-guru beliau
Ibnu Majah sama dengan ulama-ulama pengumpul hadits lainnya, beliau mempunyai guru yang sangat banyak sekali. Diantara guru beliau adalah;
  1. ‘Ali bin Muhammad ath Thanâfusî
  2. Jabbarah bin AL Mughallas
  3. Mush’ab bin ‘Abdullah az Zubair
  4. Suwaid bin Sa’îd
  5. Abdullâh bin Muawiyah al Jumahî
  6. Muhammad bin Ramh
  7. Ibrahîm bin Mundzir al Hizâmi
  8. Muhammad bin Abdullah bin Numair
  9. Abu Bakr bin Abi Syaibah
  10. Hisyam bin ‘Ammar
  11. Abu Sa’id Al Asyaj
Dan yang lainnya.
Murid-murid beliau
Keluasan ‘ilmu Ibnu Majah membuat para penuntut ilmu yang haus akan ilmu berkeliling dalam majlis yang beliau dirikan. Maka sangat banyak sekali murid yang mengambil ilmu darinya, diantara mereka adalah;
  1. Muhammad bin ‘Isa al Abharî
  2. Abu Thayyib Ahmad al Baghdadî
  3. Sulaiman bin Yazid al Fami
  4. ‘Ali bin Ibrahim al Qaththan
  5. Ishaq bin Muhammad
  6. Muhammad bin ‘Isa ash Shiffar
  7. ‘Ali bin Sa’îd al ‘Askari
  8. Ibnu Sibuyah
  9. Wajdî Ahmad bin Ibrahîm
Dan yang lainnya.
Persaksian para ulama terhadap beliau
  1. Al HafizhAl Khalili menuturkan; “(Ibnu Majah) adalah seorang yang tsiqah kabir, muttafaq ‘alaih, dapat di jadikan sebagai hujjah, memiliki pengetahuan yang mendalam dalam masalah hadits, dan hafalan.”
  2. Al Hafizh Adz Dzahabi menuturkan; “(Ibnu Majah) adalah seorang hafizh yang agung, hujjah dan ahli tafsir.”
  3. Al Mizzi menuturkan; “(Ibnu Majah) adalah seorang hafizh, pemilik kitab as sunan dan beberapa hasil karya yang bermanfa’at.”
  4. Ibnu Katsîr menuturkan: “Ibnu Majah adalah pemilik kitab as Sunnan yang Masyhur. Ini menunjukkan ‘amalnya, ‘ilmunya, keluasan pengetahuannya dan kedalamannya dalam hadits serta ittibâ’nya terhadap Sunnah dalam hal perkara-perakra dasar maupun cabang
Hasil karya beliau
Ibnu Majah adalah seorang ulama penyusun buku, dan hasil karya beliau cukuplah banyak. Akan tetapi sangat di sayangkan, bahwa buku-buku tersebut tidak sampai ke kita. Adapun diantara hasil karya beliau yang dapat di ketahui sekarang ini adalah:
  1. Kitab as-Sunan yang masyhur
  2. Tafsîr al Qurân al Karîm
  3. Kitab at Tarîkh yang berisi sejarah mulai dari masa ash-Shahâbah sampai masa beliau.
Wafatnya beliau
Beliau meninggal pada hari senin, tanggal duapuluh satu ramadlan tahun dua ratus tujuh puluh tiga hijriah. Di kuburkan esok harinya pada hari selasa. Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan keridlaan-Nya kepada beliau.

Pertumbuhan beliau
Nama: A Ahmad bin Muhamad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasithi bin Marin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa’labah bin Uqbah bin Sha’ab bin Ali bin Bakar bin Wail.
Kuniyah: Abu Abdillah
Nasab beliau: Bapak dan ibu beliau adalah orang arab, keduanya anak Syaiban bin Dzuhl bin Tsa’labah, seorang arab asli. Bahkan nasab beliau bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Nazar.
Kelahiran beliau:
Imam Ahmad dilahirkan di kota Baghdad. Ada yang berpendapat bahwa di Marwa, kemudian di bawa ke Baghdad ketika beliau masih dalam penyusuan. Hari lahir beliau pada tanggal dua puluh Rabi’ul awwal tahun 164 hijriah.
Ayah Imam Ahmad dan kakeknya meninggal ketika beliau lahir, sehingga semenjak kecil ia hanya mendapatkan pengawasan dan kasih sayang ibunya saja. Jadi, beliau tidak hanya sama dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah nasab saja, akan tetapi beliau juga sama dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah yatim.
Meskipun imam Ahmad tidak mewaritsi harta dari ayah dan kakeknya, tetapi beliau telah mewaritsi dari kakeknya kemulian nasab dan kedudukan, sedang dari ayahnya telah mewaritsi kecintaan terhadap jihad dan keberanian. Ayah beliau, Muhammad bin Hambal menemui ajalnya ketika sedang berada di medan jihad, sedang kakeknya, Hambal bin Hilal adalah seorang penguasa daerah Sarkhas, pada saat kekhilafahan Umawiyyah.
Aktifitas beliau dalam menimba ilmu
Permulaan imam Ahmad dalam rangka menuntut ilmu pada tahun 179 A hijriah, pada saat itu beliau berusia empat belas tahu, beliau menuturkan tentang dirinya; ‘ ketika aku masih anak-anak, aku modar-mandir menghadiri sekolah menulis, kemudian aku bolak-balik datang keperpustakaan A ketika aku berumur empat belas tahun.’
Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, ahli hadits, para sufi, ahli bahasa, filosof, dan sebagainya.
Setamatnya menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh semangat yang tinggi dan tidak mudah putus asa.
Keteguhan dalam mencari ilmu telah mengantarkan imam Ahmad menjadi ulama besar dan disegani, baik dari kalangan masyarakat awwam, terpelajar maupun dari kalangan penguasa. Dalam rihlah ilmiyyah yang beliau jalani, ada satu pelajaran yang patut kita conth, setiap kali bekalnya habis, beliau selalu mendermakan dirinya untuk bekerja guna melanjutkan perjalanannya. Ia tidak mau menerima uang ataupun materi lainnya selain dari hasil kerja keras dan hasil keringatnya sendiri.
Rihlah beliau
Kecintaannya kepada ilmu begitu luar biasa. Karenanya, setiap kali mendengar ada ulama terkenal di suatu tempat, ia rela menempuh perjalanan jauh dan waktu lama hanya untuk menimba ilmu dari sang ulama. Kecintaan kepada ilmu jua yang menjadikan beliau rela tak menikah dalam usia muda. Beliau baru menikah setelah usia 40 tahun. Diantara negri yang beliau kunjungi adalah:
  1. Bashrah; beliau kunjungi pada tahun 186 hijriah, kedua kalinya beliau mengunjungi pada tahun 190 hijriah, yang ketiga beliau kunjungi pada tahun 194 hijriah, dan yang keempat beliau mengunjungi pada tahun 200 hijriah.
  2. Kufah; beliau mengunjunginya pada tahun 183 hijriah, dan keluar darinya pada tahun yang sama, dan ini merupakan rihlah beliau yang pertama kali setelah keluar dari Baghdad.
  3. Makkah; beliau memasukinya pada tahun 187 hijriah, di sana berjumpa dengan imam Syafi’i. kemudian beliau mengunjunginya lagi pada tahun 196 hijriah, dan beliau juga pernah tinggal di Makkah pada tahun 197, pada tahun itu bertemu dengan Abdurrazzaq. Kemudian pada tahun 199 hijriah beliau keluar dari Makkah.
  4. Yaman; beliau meninggalkan Makkah menuju Yaman dengan berjalan kaki pada tahun 199 hijriah. Tinggal di depan pintu Ibrahim bin ‘Uqail selama dua hari dan dapat menulis hadits dari Adurrazzaq.
  5. Tharsus; Abdullah menceritakan; ‘ ayahku keluar menuju Tharsus dengan berjalan kaki.
  6. Wasith; Imam Ahmad menuturkan tentang perjalanan beliau; ‘ aku pernah tinggal di tempat Yahya bin Sa’id Al Qaththan, kemudian keluar menuju Wasith.’
  7. Ar Riqqah; Imam Ahmad menuturkan; ‘Di Riqqah aku tidak menemukan seseorang yang lebih utama ketimbang Fayyadl bin Muhammad bin Sinan.’
  8. Ibadan; beliau mengunjunginya pada tahun 186 hijriah, di sana tinggal Abu Ar Rabi’ dan beliau dapat menulis hadits darinya.
  9. Mesir; beliau berjanji kepada imam Syafi’I untuk mengunjunginya di Mesir, akan tetapi dirham tidak menopangnya mengunjungi imam Syafi’I di sana.
Guru-guru beliau
Semenjak kecil imam Ahmad memulai untuk belajar, banyak sekali guru-guru beliau, diantaranya;
  1. Husyaim bin Basyir, imam Ahmad berguru kepadanya selama lima tahun di kota Baghdad.
  2. Sufyan bin Uyainah
  3. Ibrahim bin Sa’ad
  4. Yahya bin Sa’id al Qathth?ƒA¢n
  5. Wal?ƒA®d bin Muslim
  6. Ismail bin ‘Ulaiyah
  7. Al Imam Asy Syafi’i
  8. Al Qadli Abu Yusuf
  9. Ali bin Hasyim bin al Barid
  10. Mu’tamar bin Sulaiman
  11. Waki’ bin Al Jarrah
  12. ‘Amru bin Muhamad bin Ukh asy Syura
  13. Ibnu Numair
  14. Abu Bakar Bin Iyas
  15. Muhamad bin Ubaid ath Thanafusi
  16. Yahya bin Abi Zaidah
  17. Abdul Rahman bin Mahdi
  18. Yazid bin Harun
  19. Abdurrazzaq bin Hammam Ash Shan’ani
  20. Muhammad bin Ja’far
Dan masih banyak lagi guru-guru beliau.
Murid-murid beliau
Tidak hanya ahli hadits dari kalangan murid-murid beliau saja yang meriwayatkan dari beliau, tetapi guru-guru beliau dan ulama-ulama besar pada masanyapun tidak ketinggalan untuk meriwayatkan dari beliau. Dengan ini ada klasifikasi tersendiri dalam kategori murid beliau, diantaranya;
Guru beliau yang meriwayatkan hadits dari beliau;
  1. Abdurrazzaq
  2. Abdurrahman bin Mahdi
  3. Waki’ bin Al Jarrah
  4. Al Imam Asy Syafi’i
  5. Yahya bin Adam
  6. Al Hasan bin Musa al Asy-yab
Sedangkan dari ulama-ulama besar pada masanya yang meriwayatkan dari beliau adalah;
  1. Al Imam Al Bukhari
  2. Al Imam Muslim bin Hajjaj
  3. Al Imam Abu Daud
  4. Al Imam At Tirmidzi
  5. Al Imam Ibnu Majah
  6. Al Imam An Nasa`i
Dan murid-murid beliau yang meriwayatkan dari beliau adalah;
  1. Ali bin Al Madini
  2. Yahya bin Ma’in
  3. Dahim Asy Syami
  4. Ahmad bin Abi Al Hawari
  5. Ahmad bin Shalih Al Mishri
Persaksian para ulama terhadap beliau
  1. Qutaibah menuturkan; sebaik-baik penduduk pada zaman kita adalah Ibnu Al Mubarak, kemudian pemuda ini (Ahmad bin Hambal), dan apabila kamu melihat seseorang mencintai Ahmad, maka ketahuilah bahwa dia adalah pengikut sunnah. Sekiranya dia berbarengan dengan masa Ats Tsauri dan al Auza’I serta Al Laits, niscaya Ahmad akan lebih di dahulukan ketimbang mereka. Ketika di tanyakan kepada Qutaibah; apakah anda menggabungkan Ahmad dalam kategori Tabi’in? maka dia menjawab; bahkan kibaru at tabi’in. dan dia berkata; ‘kalau bukan karena Ats Tsauri, wara’ akan sirnah. Dan kalau bukan karena Ahmad, dien akan mati.’
  2. Asy Syafi’I menuturkan; aku melihat seorang pemuda di Baghdad, apabila dia berkata; ‘telah meriwayatkan kepada kami,’ maka orang-orang semuanya berkata; ‘dia benar’. Maka ditanakanlah kepadanya; ’siapakah dia?’ dia menjawab; ‘Ahmad bin Hambal.’
  3. Ali bin Al Madini menuturkan; sesungghunya Allah memuliakan agama ini dengan perantaraan Abu Bakar pada saat timbul fitnah murtad, dan dengan perantaraan Ahmad bin Hambal pada saat fitnah Al qur`an makhluk.’
  4. Abu ‘Ubaidah menuturkan; ‘ilmu kembali kepada empat orang’ kemudian dia menyebutkan Ahmad bin Hmabal, dan dia berkata; ‘dia adalah orang yang paling fakih diantara mereka.’
  5. Abu Ja’far An Nufaili menuturkan; ‘Ahmad bin Hambal termasuk dari tokoh agama.’
  6. Yahya bin Ma’in menuturkan; ‘Aku tidak pernah melihat seseorang yang meriwayatkan hadits karena Allah kecuali tiga orang; Ya’la bin ‘Ubaid, Al Qa’nabi, Ahmad bin Hambal.’
  7. Ibrahim berkata; ‘orang ‘alim pada zamannya adalah Sa’id bin Al Musayyab, Sufyan Ats Tsaur di zamannya, Ahmad bin Hambal di zamannya.’
  8. Ibnu bi Hatim menuturkan; ‘Aku bertanya kepada ayahku tentang ‘ali bin Al Madini dan Ahmad bin Hambal, siapa diantara kedunya yang paling hafizh?’ maka ayahku menjawab; ‘ keduanya didalam hafalan saling mendekat, tetapi Ahmad adalah yang paling fakih.’
  9. Imam Syafi’i masuk menemui Imam Ahmad dan berkata, ?¢â‚¬?“Engkau lebih tahu tentang hadits dan perawi-perawinya. Jika ada hadits shahih (yang engkau tahu), maka beri tahulah aku. Insya Allah, jika (perawinya) dari Kufah atau Syam, aku akan pergi mendatanginya jika memang shahih.?¢â‚¬A? Ini menunjukkan kesempurnaan agama dan akal Imam Syafi’i karena mau mengembalikan ilmu kepada ahlinya.
Hasil karya beliau
Diantara hasil karya Imam Bukhari adalah sebagai berikut :
  1. Al Musnad
  2. Al ‘Ilal
  3. An Nasikh wa al Mansukh
  4. Az Zuhd
  5. Al Asyribah
  6. Al Iman
  7. Al Fadla`il
  8. Al Fara`idl
  9. Al Manasik
  10. Tha’atu ar Rasul
  11. Al Muqaddam wa al mu`akhkhar
  12. Jawwabaatu al qur`an
  13. Haditsu Syu’bah
  14. Nafyu at tasybih
  15. Al Imamah
  16. Kitabu al fitan
  17. Kitabu fadla`ili ahli al bait
  18. Musnad ahli al bait
  19. Al asmaa` wa al kunaa
  20. Kitabu at tarikh
Masih ada lagi buku-buku yang di nisbahkan kepada imam Ahmad, diantaranya;
  1. At tafsir. Adz Dzahabi berpendapat bahwa buku tersebut tidak ada.
  2. Ar Risalah fi ash shalah
  3. Ar Radd ‘ala al jahmiyyah.
Ada lagi beberapa hasil karya beliau yang di kumpulkan oleh Abu Bakar al Khallal, diantaranya;
  1. Kitabu al ‘illal
  2. Kitabu al ‘ilmi
  3. Kitabu as sunnah.
Wafatnya beliau
Pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun 241, beliau menghadap kepada rabbnya menjemput ajalnya di Baghdad. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang turut mengantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang. Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau.

Pertumbuhan beliau
Nama: Mâlik bin Anas bin Mâlik bin Abi Amir bin Amru bin Al Harits bin ghailân bin Hasyat bin Amru bin Harits.
Kunyah beliau: Abu Adbillah
Nasab beliau:
  1. Al Ashbuhi; adalah nisbah yang di tujukan kepada dzi ashbuh, dari Humair
  2. Al Madani; nisbah kepada Madinah, negri tempat beliau tinggal.
Tanggal lahir:
Beliau dilahirkan di Madinah tahun 93 H, bertepatan dengan tahun meninggalnya sahabat yang mulia Anas bin Malik. Ibunya mengandung dia selama tiga tahun.
Sifat-sifat imam Malik:
Beliau adalah sosok yang tinggi besar, bermata biru, botak, berjenggot lebat, rambut dan jenggotnya putih, tidak memakai semir rambut, dan beliau menipiskan kumisnya. Beliau senang mengenakan pakaian bersih, tipis dan putih, sebagaimana beliaupun sering bergonta-ganti pakaian. Memakai serban, dan meletakkan bagian sorban yang berlebih di bawah dagunya.
Aktifitas beliau dalam menimba ilmu
Imam Malik tumbuh ditengah-tengah ilmu pengetahuan, hidup dilingkungan keluarga yang mencintai ilmu, dikota Darul Hijrah, sumber mata air As Sunah dan kota rujukan para alim ulama. Di usia yang masih sangat belia, beliau telah menghapal Al Qur`an, menghapal Sunah Rasulullah, menghadiri majlis para ulama dan berguru kepada salah seorang ulama besar pada masanya yaitu Abdurrahman Bin Hurmuz.
Kakek dan ayahnya adalah ulama hadits terpandang di Madinah. Maka semenjak kecil, Imam Malik tidak meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah adalah kota dengan sumber ilmu yang berlimpah dengan kehadiran ulama-ulama besar.
Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan paman-pamannya. Disamping itu beliau pernah juga berguru kepada para ulama terkenal lainnya
Dalam usia yang terbilang muda, Imam Malik telah menguasai banyak disiplin ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya di salurkan untuk memperoleh ilmu.
Rihlah beliau
Meskipun Imam Malik memiliki kelebihan dalam hafalan dan kekuatan pengetahuannya, akan tetapi beliau tidak mengadakan rihlah ilmiah dalam rangka mencari hadits, karena beliau beranggapan cukup dengan ilmu yang ada di sekitar Hijaz. Meski beliau tidak pernah mengadakan perjalanan ilmiyyah, tetapi beliau telah menyangdang gelar seorang ulama, yang dapat memberikan fatwa dalam permasalahan ummat, dan beliau pun membentuk satu majlis di masjid Nabawi pada saat beliau menginjak dua puluh satu tahun, dan pada saat itu guru beliau Nafi’ hiudp. Semua itu agar dapat mentransfer pengetahuannya kepada kaum muslimin serta kaum muslimin dapat mengambil manfaat dari pelajaran yang di sampaikan sang imam
Guru-guru beliau
Imam Malik berjumpa dengan sekelompok kalangan tabi’in yang telah menimba ilmu dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan yang paling menonjol dari mereka adalah Nafi’ mantan budak Abdullah bin ‘Umar. Malik berkata; ‘Nafi’ telah menyebarkan ilmu yang banyak dari Ibnu ‘Umar, lebih banyak dari apa yang telah disebarkan oleh anak-anak Ibnu Umar,’
Guru-guru imam Malik, selain Nafi’, yang telah beliau riwayatkan haditsnya adalah;
  1. Abu Az Zanad Abdullah bin Zakwan
  2. Hisyam bin ‘Urwah bin Az Zubair
  3. Yahya bin Sa’id Al Anshari
  4. Abdullah bin Dinar
  5. Zaid bin Aslam, mantan budak Umar
  6. Muhammad bin Muslim bin Syihab AzZuhri
  7. Abdullah bin Abi Bakr bin Hazm
  8. Sa’id bin Abi Sa’id Al Maqburi
  9. Sami mantan budak Abu Bakar
Murid-murid beliau
Banyak sekali para penuntut ilmu meriwayatkan hadits dari imam Malik ketika beliau masih muda belia. Disini kita kategorikan beberapa kelompok yang meriwayatkan hadits dari beliau, diantaranya;
Guru-guru beliau yang meriwayatkan dari imam Malik, diantaranya;
  1. Muhammad bin Muslim bin Syihab Az Zahrani
  2. Yahya bin SA’id Al Anshari
  3. Paman beliau, Abu Sahl Nafi’ bin Malik
Dari kalangan teman sejawat beliau adalah;
  1. Ma’mar bin Rasyid
  2. Abdul Malik bin Juraij
  3. Imam Abu Hanifah, An Nu’man bin Tsabit
  4. Syu’bah bin al Hajaj
  5. Sufyan bin Sa’id Ats Tsauri
  6. Al Laits bin Sa’d
Orang-orang yang meriwayatkan dari imam Malik setelah mereka adalah;
  1. Yahya Bin Sa’id Al Qaththan
  2. Abdullah bin Al Mubarak
  3. Abdurrahman bin Mahdi
  4. Waki’ bin al Jarrah
  5. Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i.
Sedangkan yang meriwayatkan Al Muwaththa` banyak sekali, diantaranya;
  1. Abdullah bin Yusuf At Tunisi
  2. Abdullah bin Maslamah Al Qa’nabi
  3. Abdullah bin Wahb al Mishri
  4. Yahya bin Yahya Al Laitsi
  5. Abu Mush’ab Az Zuhri
Persaksian para ulama terhadap beliau
  1. Imam malik menerangkan tentang dirinya; ‘aku tidak berfatwa sehingga tujuh puluh orang bersaksi bahwa diriku ahli dalam masalah tersebut.
  2. Sufyan bin ‘Uyainah menuturkan; “Malik merupakan orang alim penduduk Hijaz, dan dia merupakan hujjah pada masanya.”
  3. Muhammad bin idris asy syafi`i menuturkan: “Malik adalah pengajarku, dan darinya aku menimba ilmu.” Dan dia juga menuturkan; ” apabila ulama di sebutkan, maka Malik adalah bintang.”
  4. Muhammad bin idris asy syafi`i menuturkan: “saya tidak mengetahui kitab ilmu yang lebih banyak benarnya dibanding kitab Imam Malik” dan imam Syafi’I berkata: “tidak ada diatas bumi ini kitab setelah kitabullah yang lebih sahih dari kitab Imam Malik”.
  5. Abdurrahman bin Mahdi menuturkan; “aku tidak akan mengedepankan seseorang dalam masalah shahihnya sebuah hadits dari pada Malik.”
  6. Al Auza’I apabila menyebut Imam Malik, dia berkata; ” ‘Alimul ‘ulama, dan mufti haramain.”
  7. Yahya bin Sa’id al Qaththan menuturkan; “Malik merupakan imam yang patut untuk di contoh.”
  8. Yahya bin Ma’in menuturkan; ” malik merupakan hujjah Allah terhadap makhluk-Nya.”
Hasil karya beliau
Muwaththa` merupakan hasil karya imam Malik yang paling spektakuler, dan disana masih ada beberapa karya beliau yang tersebar, diantaranya;
  1. Risalah fi al qadar
  2. Risalah fi an nujum wa manazili al qamar
  3. Risalah fi al aqdliyyah
  4. Risalah ila abi Ghassan Muhammad bin Mutharrif
  5. Risalah ila al Laits bin Sa’d fi ijma’i ahli al madinah
  6. Juz`un fi at tafsir
  7. Kitabu as sirr
  8. Risalatu ila Ar Rasyid.
Wafatnya beliau
Beliau meninggal dunia pada malam hari tanggal 14 safar 179 H pada usia yang ke 85 tahun dan dimakamkan di Baqî` Madinah munawwarah.

Pertumbuhan beliau
Nama: Beliau adalah Abdullah bin Abdurrahman bin al Fadhl bin Bahram bin Abdush Shamad.
Kuniyah beliau; Abu Muhammad
Nasab beliau:
  1. At Tamimi; adalah nisbah yang ditujukan kepada satu qabilah Tamim.
  2. Ad Darimi; adalah nisbah kepada Darim bin Malik dari kalangan at Tamimi. Dengan nisbah ini beliau terkenal.
  3. As Samarqandi; yaitu nisbah kepada negri tempat tinggal beliau
Tanggal lahir:
Ia di lahirkan pada taun 181 H, sebagaimana yang di terangkan oleh imam Ad Darimi sendiri, beliau menuturkan; ‘aku dilahirkan pada tahun meninggalnya Abdullah bin al Mubarak, yaitu tahun seratus delapan puluh satu.
Ada juga yang berpendapat bahwa beliau lahir pada tahun seratus delapan puluh dua hijriah.
Aktifitas beliau dalam menimba ilmu
Allah menganugerahkan kepada iama Ad Darimi kecerdasan, pikiran yang tajam dan daya hafalan yang sangat kuat, teristimewa dalam menghafal hadits. Beliau berjumpa dengan para masyayikh dan mendengar ilmu dari mereka. Akan tetapi sampai sekarang kami tidak mendapatkan secara pasti sejarah beliau dalam memulai menuntut ilmu
Beliau adalah sosok yang tawadldlu’ dalam hal pengambilan ilmu, mendengar hadits dari kibarul ulama dan shigharul ulama, sampai-sampai dia mendengar dari sekelompok ahli hadits dari kalangan teman sejawatnya, akan tetapi dia jua seorang yang sangat selektif dan berhati-hati, karena dia selalu mendengar hadits dari orang-orang yang terpercaya dan tsiqah, dan dia tidak meriwayatkan hadits dari setiap orang.
Rihlah beliau
Rihlah dalam rangka menuntut ilmu merupakan bagian yang sangat mencolok dan sifat yang paling menonjol dari tabiat para ahlul hadits, karena terpencarnya para pengusung sunnah dan atsar di berbagai belahan negri islam yang sangat luas. Maka Imam ad Darimi pun tidak ketinggalan dengan meniti jalan pakar disiplin ilmu ini.
Diantara negri yang pernah beliau singgahi adalah;
  1. Khurasan
  2. Iraq
  3. Baghdad
  4. Kufah
  5. Wasith
  6. Bashrah
  7. Syam; Damasqus, Himash dan Shur.
  8. Jazirah
  9. Hijaz; Makkah dan Madinah.
Guru-guru beliau
Guru-guru imam Ad Darimi yang telah beliau riwayatkan haditsnya adalah;
  1. Yazid bin Harun
  2. Ya’la bin ‘Ubaid
  3. Ja’far bin ‘Aun
  4. Basyr bin ‘Umar az Zahrani
  5. ‘Ubaidullah bin Abdul Hamid al Hanafi
  6. Hasyim bin al Qasim
  7. ‘Utsman bin ‘Umar bin Faris
  8. Sa’id bin ‘Amir adl Dluba’i
  9. Abu ‘Ashim
  10. ‘Ubaidullah bin Musa
  11. Abu al Mughirah al Khaulani
  12. Abu al Mushir al Ghassani
  13. Muhammad bin Yusuf al Firyabi
  14. Abu Nu’aim
  15. Khalifah bin Khayyath
  16. Ahmad bin Hmabal
  17. Yahya bin Ma’in
  18. Ali bin Al Madini
Dan yang lainnya
Murid-murid beliau
Sebagaimana kebiasaan ahlul hadits, ketika mereka mengetahui bahwa seorang alim mengetahui banyak hadits, maka mereka berbondong-bondong mendatangi alim tersebut, guna menimba ilmu yang ada pada diri si ‘alim. Begitu juga dengan Imam Ad Darimi, ketika para penuntut ilmu mengetahui kapabaliti dalam bidang hadits yang dimiliki imam, maka berbondong-bondong penuntut ilmu mendatanginya, diantara mereka itu adalah;
  1. Imam Muslim bin Hajaj
  2. Imam Abu Daud
  3. Imam Abu ‘Isa At Tirmidzi
  4. ‘Abd bin Humaid
  5. Raja` bin Murji
  6. Al Hasan bin Ash Shabbah al Bazzar
  7. Muhammad bin Basysyar (Bundar)
  8. Muhammad bin Yahya
  9. Baqi bin Makhlad
  10. Abu Zur’ah
  11. Abu Hatim
  12. Shalih bin Muhammad Jazzarah
  13. Ja’far al Firyabi
  14. Muhammad bin An Nadlr al Jarudi
Dan masih banyak lagi yang lainnya.
Persaksian para ulama terhadap beliau
  1. Imam Ahmad menuturkan; (Ad Darimi) imam.
  2. Muhammad bin Basysyar Bundar menuturkan; penghafal dunia ada empat: Abu Zur’ah di ar Ray, Muslim di an Nasaiburi, Abdullah bin Abdurrahman di Samarqandi dan Muhamad bin Ismail di Bukhara”.
  3. Abu Sa’id al Asyaj menuturkan; ‘Abdullah bin Abdirrahman adalah imam kami.’
  4. Muhammad bin Abdullah al Makhrami berkata; ‘wahai penduduk Khurasan, selagi Abdullah bin Abdurrahman di tengah-tengah kalian, maka janganlah kalian menyibukkan diri dengan selain dirinya.’
  5. Raja` bin Murji menuturkan; ‘aku telah melihat Ibnu Hambal, Ishaq bin Rahuyah, Ibnu al Madini dan Asy Syadzakuni, tetapi aku tidak pernah melihat orang yang lebih hafizh dari Abdullah.
  6. Abu Hatim berkata; Muhammad bin Isma’il adalah orang yang paling berilmu yang memasuki Iraq, Muhammad bin Yahya adalah orang yang paling berilmu yang berada di Khurasan pada hari ini, Muhammad bin Aslam adalah orang yang paling wara’ di antara mereka, dan Abdullah bin Abdurrahman orang yang paling tsabit diantara mereka.
  7. Ad Daruquthni menuturkan; ‘ tsiqatun masyhur.
  8. Muhammad bin Ibrahim bin Manshur as Sairazi menuturkan; “Abdullah adalah puncak kecerdasan dan konsistensi beragama, di antara orang yang menjadi teladan dalam kesantunan, keilmuan, hafalan, ibadah dan zuhud”.
Hasil karya beliau

  1. Sunan ad Darimi.
  2. Tsulutsiyat (kitab hadits)
  3. al Jami’
  4. Tafsir
Wafatnya beliau
Beliau meninggal dunia pada hari Kamis bertepatan dengan hari tarwiyyah, 8 Dzulhidjah, setelah ashar tahun 255 H, dalam usia 75 tahun. Dan dikuburkan keesokan harinya, Jumat (hari Arafah).

Al-Falaki. Gelar itu ditabalkan para ilmuwan di era kejayaan Kekhalifahan Abbasiyah kepada Abu Mashar berkat kehebatannya dalam bidang astrologi (ilmu perbintangan). Gerrit Bos dalam tulisannya bertajuk Abu Mashar: The Abbreviation of the Introduction to Astrology, Together with the Medieval Latin Translation of Adelard of Bath, menyebut Abu Mashar sebagai astrolog hebat di abad ke-9 M.

Karya-karya Abu Mashar dalam bidang astrologi begitu populer dan sangat ber pengaru h bagi peradaban masyarakat Eropa Barat di abad pertengahan, ujar Bos. Betapa tidak. Sederet adikarya sang Astrolog Muslim itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Menurut Bos, Abu Mashar tak hanya berpengaruh dalam bidang astrologi, ia juga berkontribusi dalam bidang kedokteran.

Penjelasan mengenai soal epidemik, papar Bos, merupakan salah satu pengaruh besar Abu Mashar dalam bidang kedokteran di Eropa. Ia menghubungkan masalah kedokteran dengan fenomena luar angkasa lewat teorinya yang disangat popular, yakni Theory of the Great Conjunctions.

Menurut teori ini, hubungan planet tertentu dapat menyebabkan bencana alam dan politik, tutur Bos. Salah satu bencana besar yang dihubung-hubungkan para dokter di abad ke -14 dengan teori yang dicetuskan Abu Mashar adalah fenomena Black Death. Hal ini menunjukkan betapa pemikiran Abu Mashar begitu berpengaruh terhadap peradaban Barat.

Keiji Yamamoto dalam tulisannya tentang sejarah hidup Abu Mashar mengungkapkan, ilmuwan Muslim terkemuka di abad ke-9 M itu terlahir pada 10 Agustus 787 M di Balkh, Persia (sekarang Afganistan). Sejatinya ia memiliki nama lengkap Jafar ibnu Muhammad Abu Mashar al-Balkhi.

Selain dikenal dengan sebutan Abu Mashar, atrolog yang satu ini juga biasa disebut dengan panggilan Abulmazar. Abu Mashar merupakan seorang ilmuwan serbabisa. Selain dikenal sebagai seorang ahli astrologi (ilmu perbintangan), Abu Mashar juga menguasai matematika, astronomi, dan filsafat Islam. Ia menekuni matematika saat berusia 47 tahun, setelah kenal dan berkecimpung dalam dunia astrologi.

Ia merupakan murid dari seorang guru yang sangat legendaris, yakni al-Kindi, ilmuwan Muslim di abad ke-8 M. Seperti sang guru, nama Abu Mas'har begitu populer di dunia Barat. Abu Ma'shar telah berjasa menyatukan pelajaran ilmu perbintangan dari berbagai sumber Islam yang luas.

Menurut Yamamoto, Abu Ma'shar juga merupakan salah satu orang yang berpe -ran sangat penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Sayangnya, tak banyak umat Islam di era modern yang mengetahui kisah hidup Abu Mashar. Para sejarawan sains pun sangat jarang mengupas kisah hidup sang ilmuwan.

Tak heran, jika banyak hal dalam sejarah hidup sang ilmuwan yang masih misterius dan menjadi perdebatan di kalangan sejarawan. Menurut Yamamoto, Abu Ma'shar terkenal dengan karya astrologinya. Yamamoto menuturkan, Abu Ma'shar pernah menulis mengenai ilmu perbintangan, termasuk tabel astronomi. Ada beberapa pertanyaan mengenai tanggal kelahiran dan kematiannya, karena pendahulunya mengetahuinya hanya semata-mata berdasarkan pada kutipan horoskop (zodiak) yang tak dikenal dalam bukunya yang bertajuk The Revolutions of the Years of Nativities, papar Yamamoto.

Sejarah hidup Abu Ma'shar, tutur Yamamoto, ditulis seorang sejarawan pada abad ke-10 M bernama Ibnu al-Nadim (wafat 995/998 M). Salah satu misteri yang belum terungkap secara pasti tentang Abu Ma'shar adalah tahun wafatnya. Yamamoto memperkirakan, Abu Ma'shar wafat di Irak pada tahun 886 M. Sementara itu, al-Biruni (973-1048M) dalam karyanya bertajuk Chronology of the Ancient Nation menuturkan bahwa Abu Ma'shar masih melakukan pengamatan astrologi pada 892 M atau enam tahun sesudah tahun kematian yang disebutkan oleh para sejarawan. Al-Biruni dalam karyanya Book of Religions and Dynasties juga mengambil referensi dari karya Abu Ma'shar mengenai posisi bintang yang ditulis pada 896/897 M.

Karya tersebut ditulis Abu Ma'shar ketika berusia lebih dari 100 tahun. Ibnu al-Nadim dalam karyanya Fihrist mengungkapkan bahwa Abu Ma'shar merupakan ilmuwan dan filsuf yang menentang pandangan Helenistik. Pandangan Abu Ma'shar ini kemudian dimanfaatkan al-Biruni untuk memetahkan pendapat filsuf Islam sebelumnya yakni al-Kindi (801-873 M). Kemasyhuran Abu Ma'shar sebagai ahli astrologi hebat di istana Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad membuat namanya masuk dalam cerita tentang astrologi.

Bahkan, Ibnu Tawus (1193n1266 M) mengumpulkan beberapa anekdot Abu Ma'shar dalam karyanya berjudul Faraj al-Mahmum (Biografi Para Astrolog). Sayangnya, nyaris semua karya Abu Ma'shar dalam astronomi telah hilang, dan hanya karya astrologinya dalam bahasa Arab yang masih tersisa. Nama Abu Ma'shar tampaknya lebih populer di dunia Barat, ketimbang di dunia Islam modern. Nyaris tak ada pelajaran yang diajarkan di sekolah di Indonesia yang menyebut nama dan kontribusi Abu Ma'shar di era kekhalifahan. Sungguh sangat ironis.
Kontribusi Sang Astrolog
Siapa yang membaca akan mengetahui. Siapa yang menulis tak akan pernah mati. Peribahasa orang Perancis itu menemukan faktanya. Meski Abu Ma'shar telah tiada belasan abad silam, namun namanya tetap dikenang dan diperbincangkan kalangan ilmuwan, khususnya di dunia Barat.

Salah satu buku yang ditulis Charles Burnett bertajuk Abu Ma'shar: The Abbreviation of the Introduction to Astrology merupakan bukti betapa pemikiran sang ilmuwan masih dianggap penting oleh dunia Barat.

Richard Lemay dalam karyanya berjudul Abu Ma'shar and Latin Aristotelianism in the Twelfth Century, The Recovery of Aristotles Natural Philosophy through Iranian Astrology, masih tertarik dengan pemikiran sang astrolog Muslim.

Dalam bukunya itu Lemay berargumentasi bahwa tulisan Abu Ma'shar sangat mirip dengan salah satu karya terpenting teori Aristoteles tentang alam. Salah satu karya Abu Ma'shar dalam bidang astrologi yang sangat berpengaruh berjudul Kitab al-Mudkhal al-Kabir. Kitab ini terdiri dari 106 bab.

Karyanya ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada tahun 1133 M dan tahun 1140 M. Selain itu, buku yang ditulis Abu Mafshar pun diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Tak heran, jika buah pikir Abu Mafshar telah memiliki pengaruh yang signifikan kepada ahli filsafat Barat, salah satunyai Albert The Great.

Abu Ma'shar juga menulis sebuah versi ringkas dalam mengenalkan karyanya Kitab Mukhtafar alfMudkhal yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Adelard of Bath. Buku lainnya yang ditulis Abu Ma'shar yang terkenal dan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin bertajuk Introductorium in Astronmiam.

Buku itu merupakan terjemahan dari kitab berbahasa Arab yakni Kitab al-Mudkhal al-Kabir ila eIlm Ahkam Annujjum, yang ditulis Abu Ma'shar di Baghdad pada 848 M. Kali pertama, kitab itu dialihbahasakan ke dalam bahasa Latin oleh John of Seville pada 1133 M, dan selanjutnya, literatur dibuat lebih sedikit dan ringkas oleh Herman of Carinthia pada 1140 M.

Karya lainnya yang ditulis Abu Ma'shar adalah sejarah astrologi yang memperkenalkan tradisi Sasaniah. Ini dibuat pada era kekuasaan Khalifah al-Mansur, khalifah kedua pada dinasti Abbasiyah. Ini merupakan bagian strategi politik al-Mansur untuk memberikan sebuah yayasan untuk lahirnya dinasti baru, dan tentu saja itu digunakan paling efektif antar Dinasti Abbasiyah sebelumnya.

Buku Abu Ma'shar yang monumental dalam kategori sejarah adalah Kitab al-Milal wa-l-Duwal (Kitab tentang agama-agama dan dinasti). Buku itu terdiri dari delapan bagian dalam 63 bab. Karyanya yang satu ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan dibaca oleh Roger Bacon, Pierre dfAilly, dan Pico della Mirandola (1463n1494 M).

Pemikiran Abu Ma'shar ini tentunya juga dibahas dalam karya besar mereka. Karya lain dalam kategori ini meliputi Fi dhikr ma tadullu elayhi al-ashkhas al-fulwiyya, Kitab aldalalat elaalittisalat waqiranat al-kawakib,dan Kitab aluluf (Book of Thousands), yang tidak bertahan lama tapi ringkasannya dipelihara oleh Sijzi (945-1020M).

Karya lainnya dari sang ilmuwan dikategorikan dalam genethlialogi, ilmu pengetahuan mengenai pemilihan kelahiran. Salah satu contoh adalah Kitab Tahawil Sini al-Mawalid (Book of the revolutions of the years of nativities).

Buku ini juga telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Yunani. Kitab itu terdiri dari sembilan volume dan terbagi menjadi 96 bab. Yang diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani hanya lima volume dan terdiri dari 57 bab.

Karya lain Abu Ma'shar yang masuk dalam kategori ini adalah Kitab Mawalid al-Rijal wa-al-Nisa atau (Buku Asal Pira dan Wanita). Dalam karyanya Introductorium in Astronomiam and De magnis coniunctionibus, Abu Ma'shar, mengatakan, dunia diciptakan ketika tujuh planet bergabung dengan Aries, dan ramalan itu bisa berakhir ketika fenomena yang sama terjadi pada Pisces.

Terjemahan kedalam bahasa Latin dan dalam bahasa sehari-hari menjadikan karyanya beredar luas di Eropa dan menjadi sumber inspirasi untuk literatur penggambaran astrologi dengan beberapa pengarang minor awal era modern.

Astronomi
Abu Ma'shar mengembangkan model planet yang beberapa penafsiran sebagai sebuah model heliosentrik. Ini menunjukkan pada revolusi orbital planet diberikan sebagai revolusi heliosentrik lebih baik dari pada revolusi geosentrik dan hanya diketahui teori planet di kejadian ini dalam teori heliosentrik.

Karyanya dalam teori planet tidak dapat bertahan, tapi data astronomnya terakhir direkam oleh al-Hashimi dan al-Biruni, jelas Bartel Leendert van der Waerden dalam karyanya The Heliocentric System in Greek, Persian and Hindu Astronomy.(rp) www.suaramedia.com

Gambar Ilustrasi
Gambar Ilustrasi
Beliaulah cikal bakal madhzab Maliki. Imam Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 93 H/712 M dan wafat tahun 179 H/796 M. Berasal dari keluarga Arab terhormat, berstatus sosial tinggi, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abu Amir, adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota ilmu yang sangat terkenal.
Kakek dan ayahnya termasuk kelompok ulama hadits terpandang di Madinah. Karenanya, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah adalah kota dengan sumber ilmu yang berlimpah lewat kehadiran ulama-ulama besarnya.
Kendati demikian, dalam mencari ilmu Imam Malik rela mengorbankan apa saja. Menurut satu riwayat, sang imam sampai harus menjual tiang rumahnya hanya untuk membayar biaya pendidikannya. Menurutnya, tak layak seorang yang mencapai derajat intelektual tertinggi sebelum berhasil mengatasi kemiskinan. Kemiskinan, katanya, adalah ujian hakiki seorang manusia.
Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabiin ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar Shadiq dan Rabi Rayi.
Dalam usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Mamun, pernah jadi murid Imam Malik. Ulama besar, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafii pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang.
Ciri pengajaran Imam Malik adalah disiplin, ketentraman, dan rasa hormat murid kepada gurunya. Prinsip ini dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan ia menegur keras murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut. Pernah suatu kali Khalifah Mansur membahas sebuah hadits dengan nada agak keras. Sang imam marah dan berkata, "Jangan melengking bila sedang membahas hadits Nabi."
Ketegasan sikap Imam Malik bukan sekali saja. Berulangkali, manakala dihadapkan pada keinginan penguasa yang tak sejalan dengan aqidah Islamiyah, Imam Malik menentang tanpa takut risiko yang dihadapinya. Salah satunya dengan Jafar, gubernur Madinah. Suatu ketika, gubernur yang masih keponakan Khalifah Abbasiyah, Al Mansur, meminta seluruh penduduk Madinah melakukan baiat (janji setia) kepada khalifah. Namun, Imam Malik yang saat itu baru berusia 25 tahun merasa tak mungkin penduduk Madinah melakukan baiat kepada khalifah yang mereka tak sukai.
Ia pun mengingatkan gubernur tentang tak berlakunya baiat tanpa keikhlasan seperti tidak sahnya perceraian paksa. Jafar meminta Imam Malik tak menyebarluaskan pandangannya tersebut, tapi ditolaknya. Gubernur Jafar merasa terhina sekali. Ia pun memerintahkan pengawalnya menghukum dera Imam Malik sebanyak 70 kali. Dalam kondisi berlumuran darah, sang imam diarak keliling Madinah dengan untanya. Dengan hal itu, Jafar seakan mengingatkan orang banyak, ulama yang mereka hormati tak dapat menghalangi kehendak sang penguasa.
Namun, ternyata Khalifah Mansur tidak berkenan dengan kelakuan keponakannya itu. Mendengar kabar penyiksaan itu, khalifah segera mengirim utusan untuk menghukum keponakannya dan memerintahkan untuk meminta maaf kepada sang imam. Untuk menebus kesalahan itu, khalifah meminta Imam Malik bermukim di ibukota Baghdad dan menjadi salah seorang penasihatnya. Khalifah mengirimkan uang 3.000 dinar untuk keperluan perjalanan sang imam. Namun, undangan itu pun ditolaknya. Imam Malik lebih suka tidak meninggalkan kota Madinah. Hingga akhir hayatnya, ia tak pernah pergi keluar Madinah kecuali untuk berhaji.
Dalam sebuah kunjungan ke kota Madinah, Khalifah Bani Abbasiyyah, Harun Al Rasyid (penguasa saat itu), tertarik mengikuti ceramah al Muwatta yang diadakan Imam Malik. Untuk hal ini, khalifah mengutus orang memanggil Imam.
"Rasyid, leluhur Anda selalu melindungi pelajaran hadits. Mereka amat menghormatinya. Bila sebagai khalifah Anda tidak menghormatinya, tak seorang pun akan menaruh hormat lagi. Manusia yang mencari ilmu, sementara ilmu tidak akan mencari manusia," nasihat Imam Malik kepada Khalifah Harun.
Sedianya, khalifah ingin jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun, permintaan itu tak dikabulkan Malik. "Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi." Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk berdampingan dengan rakyat kecil.
Pengendalian diri dan kesabaran Imam Malik membuat ia ternama di seantero dunia Islam. Pernah semua orang panik lari ketika segerombolan Kharijis bersenjatakan pedang memasuki masjid Kuffah. Tetapi, Imam Malik yang sedang shalat tanpa cemas tidak beranjak dari tempatnya. Mencium tangan khalifah apabila menghadap di baliurang sudah menjadi adat kebiasaan, namun Imam Malik tidak pernah tunduk pada penghinaan seperti itu. Sebaliknya, ia sangat hormat pada para cendekiawan, sehingga pernah ia menawarkan tempat duduknya sendiri kepada Imam Abu Hanifah yang mengunjunginya.
Beliau wafat pada tahun 179 hijrah ketika berumur 86 tahun dan meninggalkan 3 orang putera dan seorang puteri.
Kitab Al Muwatta
Al Muwatta adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Santri mana yang tak kenal kitab yang satu ini. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan ulama kontemporer. Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki banyak keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat.
Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya Al Muwatta tak akan lahir bila Imam Malik tidak dipaksa Khalifah Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah Al Mansur meminta Imam Malik mengumpulkan hadits dan membukukannya. Awalnya, Imam Malik enggan melakukan itu. Namun, karena dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut, akhirnya lahirlah Al Muwatta. Ditulis di masa Al Mansur (754-775 M) dan baru selesai di masa Al Mahdi (775-785 M).
Dunia Islam mengakui Al Muwatta sebagai karya pilihan yang tak ada duanya. Menurut Syah Walilullah, kitab ini merupakan himpunan hadits paling shahih dan terpilih. Imam Malik memang menekankan betul terujinya para perawi. Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadits. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan. Selain Al Muwatta, Imam Malik juga menyusun kitab Al Mudawwanah al Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.
Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fikih di kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik dan Al Muwatta, kitab-kitab seperti Al Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh al Maliki (karya Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al Masalik fi Fiqh al Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi), dan Bulgah as Salik li Aqrab al Masalik (karya Syeikh Ahmad as Sawi), menjadi rujukan utama mazhab Maliki.
Di samping sangat konsisten memegang teguh hadits, mazhab ini juga dikenal amat mengedepankan aspek kemaslahatan dalam menetapkan hukum. Secara berurutan, sumber hukum yang dikembangkan dalam Mazhab Maliki adalah Al-Quran, Sunnah Rasulullah SAW, amalan sahabat, tradisi masyarakat Madinah (amal ahli al Madinah), qiyas (analogi), dan al maslahah al mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu).
Mazhab Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Kecuali di tiga negara yang disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab Maliki kini menyusut. Mayoritas penduduk Mekah dan Madinah saat ini mengikuti Mazhab Hanbali. Di Iran dan Mesir, jumlah pengikut Mazhab Maliki juga tidak banyak. Hanya Marokko saat ini satu-satunya negara yang secara resmi menganut Mazhab Maliki. (ar/kh) www.suaramedia.com



HARGA-harga komoditi pangan di Indonesia sering tak terkontrol. Suatu saat melambung tinggi, di saat lain anjlok mencapai titik terendah. Bawang merah misalnya, harganya pernah mencapai puluhan ribu per kilo, tapi saat tiba waktu panen turun drastis. Saking rendahnya harga itu, para petani di Nganjuk, Jawa Timur pernah lebih memilih membakar barangnya daripada menjualnya.

Tidak terkontrolnya harga-harga tersebut karena begitu lemahnya peran pemerintah. Saking lemahnya, adanya pemerintah itu seperti tidak ada. Sebagian orang bilang, peran pemerintah memang dibatasi. Pemerintah tidak boleh intervensi soal harga. Harga lebih diserahkan kepada mekanisme pasar. Namun bila harga-harga melangit sehingga mencekik rakyat, pemerintah mestinya punya kewenangan mengontrol harga.

Seperti pendapat sebagian besar ulama, dalam kasus tertentu -walau mereka berpendapat sebaiknya harga memang ditentukan oleh pasar- pemerintah berhak mengontrol harga, demi melindungi rakyat. Karena dalam banyak kasus, melambungkan harga-harga itu bukan semata mekanisme pasar, melainkan lantaran ulah para tengkulak.

Dalam sejarah Islam, orang yang pertama kali turut campur menentukan harga di pasar adalah ‘Umar bin Khaththab, saat beliau menjabat khalifah. Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikenal tegas ini punya perhatian besar kepada pasar. Sebab, pasar adalah jantung ekonomi suatu masyarakat (negara). Berangkat dari kepentingan ini, sekalipun khalifah, ‘Umar merasa perlu turun sendiri ke pasar-pasar melakukan pengawasan. Bila melihat penyimpangan beliau langsung meluruskan.

Dari Sa’id bin Al-Musayyib diriwayatkan, ‘Umar bertemu Hathib bin Abi Balta’ah yang sedang menjual kismis di pasar. ‘Umar berkata, “Kamu tambah harganya atau angkat dari pasar kami.”

Riwayat lain, dari Yahya bin Abdul Rahman bin Hathib. Dia berkata, “Ayahku dan ‘Utsman bin ‘Affan adalah dua sekutu yang mengambil kurma dari Al-Aliyah ke pasar. Mereka kemudian bertemu dengan ‘Umar. “Wahai Ibnu Abi Balta’ah, tambahlah harganya, apabila tidak, maka keluarlah dari pasar kami,” kata Umar.

Riwayat di atas menunjukkan bahwa ‘Umar begitu peduli dengan harga-harga yang berkembang di pasar. Beliau melarang menurunkan harga. Harga yang terlalu murah sepintas memang menguntungkan konsumen. Namun sesungguhnya dalam jangka panjang itu bakal menghancurkan kepentingan yang lebih besar, yakni kepentingan penjual maupun kepentingan pembeli itu sendiri.

Harga yang terlalu murah, membuat para pedagang enggan berjualan karena keuntungannya terlalu sedikit. Tidak sepadan dengan jerih payah dan modal yang dikeluarkan. Bila pedagang enggan berjualan, pada akhirnya tentu bakal mempengaruhi persedian barang. Saat persedian barang sedikit, sementara di sisi lain permintaan bertambah, yang terjadi kemudian harga melambung tinggi. Nah, ini tentu tidak menguntungkan bagi masyarakat banyak.

Karena itu, di samping melarang menurunkan harga, ‘Umar memerintahkan pedagang menjual sesuai harga pasar. Ada riwayat yang menunjukkan hal tersebut. Diriwayatkan, seorang laki-laki datang membawa kismis dan menaruhnya di pasar. Lalu dia menjual tidak dengan harga pasar. Tidak jelas di riwayat ini apakah pria itu menjual di bawah harga pasar atau justru di atasnya. Yang jelas ‘Umar berkata, “Juallah dengan harga pasar atau kamu pergi dari pasar kami. Sesungguhnya kami tidak memaksamu dengan satu harga.”

Sebagian ulama menganggap apa yang dilakukan ‘Umar tersebut bertentangan dengan ketentuan Rasulullah. Abu Dawud dan At-Tirmidzi mengisahkan, suatu hari harga-harga barang naik. Sebagian umat Islam lalu mendatangi Rasulullah, minta beliau menentukan harga. Tapi Nabi tidak bersedia. Beliau hanya berdoa, “Aku berdoa agar Allah menghilangkan mahalnya harga dan meluaskan rezeki.” Rasulullah memberi alasan kenapa menolak menentukan harga, “Sesungguhnya Allah, Dialah yang menentukan harga, yang Maha Menahan, Maha Meluaskan lagi Maha Memberi rezeki. Dan aku berharap bertemu Allah dan tidak ada seorang dari kalian meminta pertanggungjawabanku atas kezaliman dalam darah dan harta.”

Ulama lain, seperti Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi berpendapat sebaliknya. Seperti ditulis dalam bukunya, Al Fiqh Al Iqtishadi Lil Amiril Mukminin Umar ibnu Al Khathab (diterjemahkan penerbit Khalifa dengan judul Fiqih Ekonomi Umar bin Khathab), menurut Jaribah apa yang dilakukan Umar tidak bertentangan dengan Hadits Nabi di atas. Jaribah punya dua alasan.

Pertama, naiknya harga pada zaman Nabi tersebut akibat fluktuasi dari persediaan dan permintaan barang. Artinya, harga naik karena persediaan barang sedikit sementara permintaan banyak. Karena itu Rasulullah enggan menetapkan harga. Memperkuat pendapatnya, Jaribah mengutip pendapatnya Ibnu Taimiyah. Syaikhul Islam ini berpendapat, membuat dalil berdasarkan Hadits yang menunjukkan keengganan Nabi menentukan harga, untuk membuktikan dilarangnya penentuan harga secara mutlak adalah kesalahan. “Ini adalah kasus khusus, bukan umum,” kata Ibnu Taimiyah.

Kedua, masih kata Jaribah, ‘Umar tidak membatasi harga tertentu, misalnya dengan nominal tertentu. ‘Umar hanya minta pedagang menjual dengan harga pasar. Di antara dalil yang menunjukkan ‘Umar benar-benar menjaga harga pasar adalah saat beliau memerintahkan Hathib untuk masuk ke rumahnya dan menjual kismisnya sebagaimana kehendaknya. Sebab, berjualan di rumah jauh dari penglihatan penjual dan pembeli, sehingga tidak mempengaruhi harga di pasar.

Sekalipun sikap ‘Umar tegas dalam menjaga harga pasar, namun beliau tidak kaku. Pada kasus tertentu pedagang boleh menjual barangnya di luar harga pasar.

Itu pernah dialami Al-Miswar bin Makhramah. Ia menjual makanan dengan harga modalnya atau tanpa keuntungan. ‘Umar heran dengan apa yang dilakukan Miswar tersebut, “Apakah kamu gila, wahai Miswar?”

Miswar menjawab, “Demi Allah, tidak wahai Amirul Mukminin. Tetapi aku melihat mendung musim gugur. Aku benci menahan apa yang bermanfaat bagi manusia.” Mendengar jawaban Miswar tersebut, ‘Umar segera menyahut, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”

Tetapi jika penyimpangan harga, baik turun maupun naik yang terlalu ekstrim karena ulah pedagang, misalnya monopoli, maka menurut Jaribah, negara mesti bertindak demi kemaslahatan semua orang.

Kesimpulannya, bila terjadi pergerakan harga, baik naik maupun turun, akibat fluktuasi persediaan dan permintaan barang dalam keadaan normal, maka penentuan harga dalam keadaan seperti ini tidak diperbolehkan. Penetapan harga di saat keadaan normal, dianggap sebagai kezaliman kepada rakyat yang menyebabkan penguasa harus mempertanggungjawabkan pada Hari Kiamat kelak.


Jābir ibn Hayyān

15th-century European portrait of "Geber", Codici Ashburnhamiani 1166, Biblioteca Medicea Laurenziana, Florence
Title Abu Musa Jābir ibn Hayyān
Born 722 AD
Died c. 804 AD
Ethnicity Persian[1] or Arab[2][3]
School tradition Shī‘ah[4][5]
Main interests Alchemy and Chemistry, Astronomy, Astrology, Medicine and Pharmacy, Philosophy, Physics, philanthropist
Works Kitab al-Kimya, Kitab al-Sab'een, Book of the Kingdom, Book of the Balances , Book of Eastern Mercury, etc.
Influences Ja'far al-Sadiq, Alchemy, Harbi al-Himyari
Influenced Al-Kindi, Alchemy, Chemistry
Abu Mūsā Jābir ibn Hayyān (al-Azdi / al-Kufi / al-Tusi / al-Sufi), often known simply as Geber, (Persian: جابر بن حیان)(Arabic: جابر بن حیان‎) (born c. 721 in Tus, Persia; died c. 815 in Kufa, Iraq)[6] was a prominent polymath: a chemist and alchemist, astronomer and astrologer, engineer, geographer, philosopher, physicist, and pharmacist and physician. Born and educated in Tus, he later traveled to Kufa. Jābir is held to have been the first practical alchemist.[7]
As early as the tenth century, the identity and exact corpus of works of Jābir was in dispute in Islamic circles.[8] His name was Latinized as "Geber" in the Christian West and in 13th century Europe an anonymous writer, usually referred to as Pseudo-Geber, produced alchemical and metallurgical writings under the pen-name Geber.

Early references

In 987 Ibn al-Nadim compiled the Kitab al-Fihrist which mentions Jabir as a spiritual leader and as a companion to Jafar as-Sadiq (he is not listed among the students of Jafar as-Sadiq but many of the writings of the Jabirian corpus are dedicated to Jafar as-Sadiq). In another reference al-Nadim reports that a group of philosophers claimed Jabir was one of their own members. Another group, reported by al-Nadim, says only The Large Book of Mercy is genuine and that the rest are pseudographical. Their assertions are rejected by al-Nadim.[9] Joining al-Nadim in asserting a real Jabir; Ibn-Wahshiyya ("Jaber ibn Hayyn al-Sufi ...book on poison is a great work..") Rejecting a real Jabir; (the philosopher c.970) Abu Sulayman al-Mantiqi claims the real author is one al-Hasan ibn al-Nakad al-Mawili. 14th century critic of Arabic literature, Jamal al-Din ibn Nubata al-Misri declares all the writings attributed to Jabir doubtful.[10]

Life and background

Jabir was a Natural Philosopher who lived mostly in the 8th century, he was born in Tus, Khorasan, in Iran (Persia),[6] then ruled by the Umayyad Caliphate. Jabir in the classical sources has been entitled differently as al-Azdi or al-Kufi or al-Tusi or al-Sufi.[11] There is a difference of opinion[11] as to whether he was an Arab from Kufa who lived in Khurasan or a Persian from Khorasan who later went to Kufa or whether he was, as some have suggested, of Syrian origin and later lived in Persia and Iraq.[11] His ethnic background is not clear,[11] and sources reference him as an Arab or a Persian.[1] In some sources, he is reported to have been the son of Hayyan al-Azdi, a pharmacist of the Arabian Azd tribe who emigrated from Yemen to Kufa (in present-day Iraq) during the Umayyad Caliphate.[12][13] while Henry Corbin believes Geber seems to have been a client of the 'Azd tribe.[14] Jābir became an alchemist at the court of Caliph Harun al-Rashid, for whom he wrote the Kitab al-Zuhra ("The Book of Venus", on "the noble art of alchemy").[citation needed] Hayyan had supported the Abbasid revolt against the Umayyads, and was sent by them to the province of Khorasan (present day Afghanistan and Iran) to gather support for their cause. He was eventually caught by the Ummayads and executed. His family fled to Yemen,[12][15] where Jābir grew up and studied the Quran, mathematics and other subjects.[12] Jābir's father's profession may have contributed greatly to his interest in alchemy.
After the Abbasids took power, Jābir went back to Kufa. He began his career practicing medicine, under the patronage of a Vizir (from the noble Persian family Barmakids) of Caliph Harun al-Rashid. His connections to the Barmakid cost him dearly in the end. When that family fell from grace in 803, Jābir was placed under house arrest in Kufa, where he remained until his death.
It has been asserted that Jābir was a student of the sixth Imam Ja'far al-Sadiq and Harbi al-Himyari,[5][8] however other scholars have questioned this theory.[16]

The Jabirian corpus

An illustration of the various experiments and instruments used by Jabir Ibn Hayyan.
In total, nearly 3,000 treatises and articles are credited to Jabir ibn Hayyan.[17] Following the pioneering work of Paul Kraus, who demonstrated that a corpus of some several hundred works ascribed to Jābir were probably a medley from different hands,[10][18] mostly dating to the late ninth and early tenth centuries, many scholars believe that many of these works consist of commentaries and additions by his followers,[citation needed] particularly of an Ismaili persuasion.[19]
The scope of the corpus is vast: cosmology, music, medicine, magic, biology, chemical technology, geometry, grammar, metaphysics, logic, artificial generation of living beings, along with astrological predictions, and symbolic Imâmî myths.[10]
  • The 112 Books dedicated to the Barmakids, viziers of Caliph Harun al-Rashid. This group includes the Arabic version of the Emerald Tablet, an ancient work that proved a recurring foundation of and source for alchemical operations. In the Middle Ages it was translated into Latin (Tabula Smaragdina) and widely diffused among European alchemists.
  • The Seventy Books, most of which were translated into Latin during the Middle Ages. This group includes the Kitab al-Zuhra ("Book of Venus") and the Kitab Al-Ahjar ("Book of Stones").
  • The Ten Books on Rectification, containing descriptions of alchemists such as Pythagoras, Socrates, Plato and Aristotle.
  • The Books on Balance; this group includes his most famous 'Theory of the balance in Nature'.
Jābir states in his Book of Stones (4:12) that "The purpose is to baffle and lead into error everyone except those whom God loves and provides for". His works seem to have been deliberately written in highly esoteric code (see steganography), so that only those who had been initiated into his alchemical school could understand them. It is therefore difficult at best for the modern reader to discern which aspects of Jābir's work are to be read as symbols (and what those symbols mean), and what is to be taken literally. Because his works rarely made overt sense, the term gibberish is believed to have originally referred to his writings (Hauck, p. 19).

People

Jābir's interest in alchemy was probably inspired by his teacher Ja'far as-Sadiq. When he used to talk about alchemy, he would say "my master Ja'far as-Sadiq taught me about calcium, evaporation, distillation and crystallization and everything I learned in alchemy was from my master Ja'far as-Sadiq." Imam Jafar was famed for his depth and breadth of knowldege. In addition to his knowledge of Islamic sciences, Imam Jafar was well educated in natural sciences, mathematics, philosophy , astronomy , anatomy , chemistry (alchemy), and other subjects. The foremost Islamic alchemist Jabir bin Hayyan (known in Europe as Geber) was his most prominent student. Other famous students of his were Imam Abu Hanifa and Imam Malik Ibn Anas, the founders of two Sunni schools of jurisprudence, and Wasil ibn Ata, the founder of the Mutazilite school of Islamic thought. Imam Jafar was known for his liberal views on learning, and was keen to debate with scholars of different faiths and of different beliefs. Imam Abu Hanifa is quoted by many souces as having said "My knowledge extends to only two years. The two I spent with Imam Jafar Sadiq", some Islamic scholars have gone so far as to call Imam Jafar Saddiq as the root of most of Islamic jurisprudence, having a massive influence on Hanafi, Maliki and Shia schools of thought extending well into mainstream Hanbali and Shafi'i thought. Imam Jafar also attained a surpassing knowledge in astronomy and in the science of medicine. it is said that he wrote more than five hundred books on health care which were compiled and annotated by another great scholar and scientist of Islam, Jabir bin Hayyan
Jābir professes to draw his inspiration from earlier writers, legendary and historic, on the subject.[20] In his writings, Jābir pays tribute to Egyptian and Greek alchemists Zosimos, Democritus, Hermes Trismegistus, Agathodaimon, but also Plato, Aristotle, Galen, Pythagoras, and Socrates as well as the commentators Alexander of Aphrodisias Simplicius, Porphyry and others.[10] A huge pseudo-epigraphic literature of alchemical books was composed in Arabic, among which the names of Persian authors also appear like Jāmāsb, Ostanes, Mani, testifying that alchemy-like operations on metals and other substances were also practiced in Persia. The great number of Persian technical names (zaybaq = mercury, nošāder = sal-ammoniac) also corroborates the idea of an important Iranian root of medieval alchemy.[21] Ibn al-Nadim reports a dialogue between Aristotle and Ostanes, the Persian alchemist of Achaemenid era, which is in Jabirian corpus under the title of Kitab Musahhaha Aristutalis.[22] Ruska had suggested that the Sasanian medical schools played an important role in the spread of interest in alchemy.[21] He emphasizes the long history of alchemy, "whose origin is Arius ... the first man who applied the first experiment on the [philosopher's] stone... and he declares that man possesses the ability to imitate the workings of Nature" (Nasr, Seyyed Hussein, Science and Civilization of Islam).

Theories

Jābir's alchemical investigations ostensibly revolved around the ultimate goal of takwin — the artificial creation of life. The Book of Stones includes several recipes for creating creatures such as scorpions, snakes, and even humans in a laboratory environment, which are subject to the control of their creator. What Jābir meant by these recipes is unknown.
Jābir's alchemical investigations were theoretically grounded in an elaborate numerology related to Pythagorean and Neoplatonic systems. The nature and properties of elements was defined through numeric values assigned the Arabic consonants present in their name, ultimately culminating in the number 17.
By Jabirs' time Aristotelian physics, had become Neoplatonic. Each Aristotelian element was composed of these qualities: fire was both hot and dry, earth, cold and dry, water cold and moist, and air, hot and moist. This came from the elementary qualities which are theoretical in nature plus substance. In metals two of these qualities were interior and two were exterior. For example, lead was cold and dry and gold was hot and moist. Thus, Jābir theorized, by rearranging the qualities of one metal, a different metal would result. Like Zosimos, Jabir believed this would require a catalyst, an al-iksir, the elusive elixir that would make this transformation possible — which in European alchemy became known as the philosopher's stone.[10]
According to Jabir's mercury-sulfur theory, metals differ from each in so far as they contain different proportions of the sulfur and mercury. These are not the elements that we know by those names, but certain principles to which those elements are the closest approximation in nature.[23] Based on Aristotle's "exhalation" theory the dry and moist exhalations become sulfur and mercury (sometimes called "sophic" or "philosophic" mercury and sulfur). The sulfur-mercury theory is first recorded in a 7th century work Secret of Creation credited (falsely) to Balinus (Apollonius of Tyana). This view becomes wide spread.[24] In the Book of Explanation Jabir says
the metals are all, in essence, composed of mercury combined and coagulated with sulphur [that has risen to it in earthy, smoke-like vapors]. They differ from one another only because of the difference of their accidental qualities, and this difference is due to the difference of their sulphur, which again is caused by a variation in the soils and in their positions with respect to the heat of the sun
Holmyard says that Jabir proves by experiment that these are not ordinary sulfur and mercury.[12]
The seeds of the modern classification of elements into metals and non-metals could be seen in his chemical nomenclature. He proposed three categories:[25]
The origins of the idea of chemical equivalents might be traced back to Jabir, in whose time it was recognized that "a certain quantity of acid is necessary in order to neutralize a given amount of base."[26][verification needed] Jābir also made important contributions to medicine, astronomy/astrology, and other sciences. Only a few of his books have been edited and published, and fewer still are available in translation.

Laboratory equipment and material


Ambix, cucurbit and retort of Zosimus, from Marcelin Berthelot, Collection of ancient greek alchemists (3 vol., Paris, 1887-1888).
Jabirian corpus is renowned for its contributions to alchemy. It shows a clear recognition of the importance of experimentation, "The first essential in chemistry is that thou shouldest perform practical work and conduct experiments, for he who performs not practical work nor makes experiments will never attain to the least degree of mastery."[27] He is credited with the use of over twenty types of now-basic chemical laboratory equipment,[28] such as the alembic[29] and retort, and with the description of many now-commonplace chemical processes – such as crystallisation, various forms of alchemical "distilation", and substances citric acid (the sour component of lemons and other unripe fruits), acetic acid (from vinegar) and tartaric acid (from wine-making residues), arsenic, antimony and bismuth, sulfur, and mercury[27][28] that have become the foundation of today's chemistry.[30]
The works in Latin under the name of Geber include these important chemical processes (Von Meyer, 1906): The manufacture of nitric and sulfuric acids; The separation of gold from other metals through the agency of lead and saltpeter (potassium nitrate). The concept of a chemical compound; the mineral cinnabar, for example, as being composed of sulfur and mercury The purification of mercury. The classification of salts as water soluble, under the generic title "sal." The introduction of the word "alkali" to designate substances such as lye and other bases. The production of nitric acid by distilling a mixture of saltpeter (potassium nitrate), copper vitriol (copper sulfate), and alum (naturally occurring sulfate of iron, potassium, sodium or aluminum). The production of sulfuric acid through the heating of alum . The production of aqua regia, a solvent capable of dissolving gold, by mixing salmiac (ammonium chloride) and nitric acid. The production of alum from alum shale by recrystallizing it from water. The purification of substances through crystallization The precipitation of silver nitrate crystals from a solution by the addition of common salt, thus establishing a test for the presence of both silver and salt. The preparation of mercuric oxide from mercury by heating it with a metallic oxide, and mercuric chloride by heating mercury with common salt, alum and saltpeter. The preparation of arsenious acid. The dissolving of sulfur in solutions of alkalies, and its transformation when it interacts with aqua regia. The theory that the different metals are composed of varying degrees of sulfur and mercury. The production of saltpeter by mixing potash (potassium carbonate) and nitric acid. ,[31]Asimov, Isaac. 1982. Asimov's Biographical Encyclopedia of Science and Technology. New York: Doubleday. ISBN 0-385-17771-2
According to Ismail al-Faruqi and Lois Lamya al-Faruqi, "In response to Jafar al-Sadik's wishes, [Jabir ibn Hayyan] invented a kind of paper that resisted fire, and an ink that could be read at night. He invented an additive which, when applied to an iron surface, inhibited rust and when applied to a textile, would make it water repellent."[32]

Alcohol and the mineral acids

According to Forbes "no proof was ever found that the Arabs knew alcohol or any mineral acid in a period before they were discovered in Italy, whatever the opinion of some modern authors may be on this point."[33] Fractional distillation of alcohol first occurs about 1100 probably in Salerno. Magister Salernus (died 1167) provides one of the earliest direct recipes.[33] Directions to make sulfuric acid, nitric acid and aqua regis appear in Liber Fornacum, De inventione perfectionis, and the Summa.[33]

Legacy


An artistic depiction of "Geber"
Whether there was a real Jabir in the 8th century or not, his name would become the most famous in alchemy.[16] He paved the way for most of the later alchemists, including al-Kindi, al-Razi, al-Tughrai and al-Iraqi, who lived in the 9th-13th centuries. His books strongly influenced the medieval European alchemists[30] and justified their search for the philosopher's stone.[34][35] In the Middle Ages, Jabir's treatises on alchemy were translated into Latin and became standard texts for European alchemists. These include the Kitab al-Kimya (titled Book of the Composition of Alchemy in Europe), translated by Robert of Chester (1144); and the Kitab al-Sab'een (Book of Seventy) by Gerard of Cremona (before 1187). Marcelin Berthelot translated some of his books under the fanciful titles Book of the Kingdom, Book of the Balances, and Book of Eastern Mercury. Several technical Arabic terms introduced by Jabir, such as alkali, have found their way into various European languages and have become part of scientific vocabulary.
Max Meyerhoff states the following on Jabir ibn Hayyan: "His influence may be traced throughout the whole historic course of European alchemy and chemistry."[30]
The historian of chemistry Erick John Holmyard gives credit to Jābir for developing alchemy into an experimental science and he writes that Jābir's importance to the history of chemistry is equal to that of Robert Boyle and Antoine Lavoisier. The historian Paul Kraus, who had studied most of Jābir's extant works in Arabic and Latin, summarized the importance of Jābir to the history of chemistry by comparing his experimental and systematic works in chemistry with that of the allegorical and unintelligible works of the ancient Greek alchemists.[36] The word gibberish is theorized to be derived from the Latinised version off Jābir's name,[37] in reference to the incomprehensible technical jargon often used by alchemists, the most famous of whom was Jābir.[38] Other sources such as the Oxford English Dictionary suggest the term stems from gibber; however, the first known recorded use of the term "gibberish" was before the first known recorded use of the word "gibber" (see Gibberish).

Quotation

  • "My wealth let sons and brethren part. Some things they cannot share: my work well done, my noble heart — these are mine own to wear."[39]

The Geber problem

The identity of the author of works attributed to Jabir has long been discussed.[8] According to a famous controversy,[40] pseudo-Geber has been considered as the unknown author of several books in Alchemy.[41] This was first independently suggested, on textual and other grounds, by the nineteenth-century historians Hermann Kopp and Marcellin Berthelot.[42] Jabir, by reputation the greatest chemist of Islam, has long been familiar to western readers under the name of Geber, which is the medieval rendering of the Arabic Jabir, the Geber of the Middle Ages.[43] The works in Latin corpus were considered to be translations until the studies of Kopp, Hoefer, Berthelot, and Lippman. Although they reflect earlier Arabic alchemy they are not direct translations of "Jabir" but are the work of a 13th century Latin alchemist.[44] Eric Holmyard says in his book Makers of Chemistry Clarendon press.(1931) [1].
There are, however, certain other Latin works, entitled The Sum of Perfection, The Investigation of Perfection, The Invention of Verity, The Book of Furnaces, and The Testament, which pass under his name but of which no Arabic original is known. A problem which historians of chemistry have not yet succeeded in solving is whether these works are genuine or not.
However by 1957 AD when he (Holmyard) wrote Alchemy. Courier Dover Publications. p. 134. ISBN 978-0-486-26298-7. Holmyard had abandoned the idea of an Arabic original. (although they are based on "Islamic" alchemical theories)
The question at once arises whether the Latin works are genuine translations from the Arabic, or written by a Latin author and, according to common practice, ascribed to Jabir in order to heighten their authority. That they are based on Muslim alchemical theory and practice is not questioned, but the same may be said of most Latin treatises on alchemy of that period; and from various turns of phrase it seems likely that their author could read Arabic. But the general style of the works is to clear and systematic to find a close parallel in any of the known writings of the Jabirian corpus, and we look in vain in them for any references to the characteristically Jabirian ideas of "balance" and the alphabetic numerology. Indeed for their age they have a remarkably matter of fact air about them, theory being stated with a minimum of prolixity and much precise practical detail being given. The general impression they convey is that they are the product of an occidental rather than an oriental mind, and a likely guess would be that they were written by a European scholar, possibly in Moorish Spain. Whatever their origin, they became the principal authorities in early Western alchemy and held that position for two or three centuries.
The question of Geber's identity, whether he is the original Jābir or a "pseudo-Geber" adopting his name, is still in dispute(1962).[45]
It is said that Geber, the Latinized form of "Jābir," was adopted presumably because of the great reputation of a supposed 8th-century alchemist by the name of Jābir ibn Hayyān.[46] About this historical figure, however, there is considerable uncertainty(1910).[47]
This is sometimes called the "Geber-Jābir problem".[48]
It is possible that some of the facts mentioned in the Latin works, ascribed to Geber and dating from the twelfth century and later, must also be placed to Jabir's credit. It is important to consider that it is impossible to reach definite conclusions until all the Arabic writings ascribed to Jābir have been properly edited and discussed.[43]

The Pseudo-Geber corpus

The Latin corpus consists of books with an author named "Geber" for which researchers have failed to find a text in Arabic. Although these books are heavily influenced by Arabic books written by Jābir, the "real" Geber, and by Al Razi and others, they were never written in Arabic. They are in Latin only, they date from about the year 1310, and their author is called Pseudo-Geber:
  • Summa perfectionis magisterii ("The Height of the Perfection of Mastery").[49]
  • Liber fornacum ("Book of Stills"),
  • De investigatione perfectionis ("On the Investigation of Perfection"), and
  • De inventione veritatis ("On the Discovery of Truth").
  • Testamentum gerberi
The 2nd, 3rd and 4th books listed above "are merely extracts from or summaries of the Summa Perfectionis Magisterii with later additions."[50]

English translations of Jābir and the pseudo-Geber

  • E. J. Holmyard (ed.) The Arabic Works of Jabir ibn Hayyan, translated by Richard Russel in 1678. New York, E. P. Dutton (1928); Also Paris, P. Geuther.
  • Syed Nomanul Haq, Names, Natures and Things: The Alchemists Jabir ibn Hayyan and his Kitab al-Ahjar (Book of Stones), [Boston Studies in the Philosophy of Science p. 158] (Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 1994), ISBN 0-7923-3254-7.
  • Donald Routledge Hill, 'The Literature of Arabic Alchemy' in Religion: Learning and Science in the Abbasid Period, ed. by M.J.L. Young, J.D. Latham and R.B. Serjeant (Cambridge University Press, 1990) pp. 328–341, esp. pp 333–5.
  • William Newman, New Light on the Identity of Geber, Sudhoffs Archiv, 1985, Vol.69, pp. 76–90.
  • Geber and William Newman The Summa Perfectionis of Pseudo-Geber: A Critical Edition, Translation and Study ISBN 90-04-09466-4

Popular culture

  • In S.H.I.E.L.D, Jabir appears as the 8th century leader of the organization.

See also

References

  1. ^ a b
    • William R. Newman, Gehennical Fire: The Lives of George Starkey, an American Alchemist in the Scientific Revolution, Harvard University Press, 1994. p.94: "According to traditional bio-bibliography of Muslims, Jabir ibn Hayyan was a Persian alchemist who lived at some time in the eight century and wrote a wealth of books on virtually every aspect of natural philosophy"
    • William R. Newman, The Occult and Manifest Among the Alchemist, in F. J. Ragep, Sally P Ragep, Steven John Livesey, Tradition, Transmission, Transformation: Proceedings of Two Conferences on pre-Modern science held at University of Oklahoma, Brill, 1996/1997, p.178: "This language of extracting the hidden nature formed an important lemma for the extensive corpus associated with the Persian alchemist Jabir ibn Hayyan"
    • Henry Corbin, "The Voyage and the Messenger: Iran and Philosophy", Translated by Joseph H. Rowe, North Atlantic Books, 1998. p.45: "The Nisba al-Azdin certainly does not necessarily indicate Arab origin. Geber seems to have been a client (mawla) of the Azd tribe established in Kufa"
    • Tamara M. Green, "The City of the Moon God: Religious Traditions of Harran (Religions in the Graeco-Roman World)", Brill, 1992. p.177: "His most famous student was the Persian *Jabir ibn Hayyan (b. circa 721 C.E.), under whose name the vast corpus of alchemical writing circulated in the medieval period in both the east and west, although many of the works attributed to Jabir have been demonstrated to be likely product of later Ismaili' tradition."
    • David Gordon White, "The Alchemical Body: Siddha Traditions in Medieval India", University of Chicago Press, 1996. p.447
    • William R. Newman, Promethean Ambitions: Alchemy and the Quest to Perfect Nature, University of Chicago Press, 2004. p.181: "The corpus ascribed to the eight-century Persian sage Jabir ibn Hayyan.."
    • Wilbur Applebaum, The Scientific revolution and the foundation of modern science, Greenwood Press, 1995. p.44: "The chief source of Arabic alchemy was associated with the name, in its Latinized form, of Geber, an eighth-century Persian."
    • Neil Kamil, Fortress of the Soul: Violence, Metaphysics, and Material Life in the Huguenots New World, 1517-1751 (Early America: History, Context, Culture), JHU Press, 2005. p.182: "The ninth-century Persian alchemist Jabir ibn Hayyan, also known as Geber, is accurately called pseudo-Geber since most of the works published under this name in the West were forgeries"
    • Aleksandr Sergeevich Povarennykh, Crystal Chemical Classification of Minerals, Plenum Press, 1972, v.1, ISBN 0-306-30348-5, p.4: "The first to give separate consideration to minerals and other inorganic substances were the following: The Persian alchemist Jabir (721-815)..."
    • George Sarton, Introduction to the History of Science, Pub. for the Carnegie Institution of Washington, by the Williams & Wilkins Company, 1931, vol.2 pt.1, page 1044: "Was Geber, as the name would imply, the Persian alchemist Jabir ibn Haiyan?"
    • Dan Merkur, in The psychoanalytic study of society (eds. Bryce Boyer, et al.), vol. 18, Routledge, ISBN 0-88163-161-2, page 352: "I would note that the Persian alchemist Jabir ibn Hayyan developed the theory that all metals consist of different 'balances' ..."
    • Anthony Gross, The Dissolution of the Lancastrian Kingship: Sir John Fortescue and the Crisis of Monarchy in Fifteenth-century England, Paul Watkins, 1996, ISBN 1-871615-90-9, p.19: "Ever since the Seventy Books attributed to the Persian alchemist Jabir Ibn Hayyan had been translated into Latin ...."
  2. ^ Kraus, P. (1962). "Djābir B. Ḥayyān". Encyclopaedia of Islam. 2 (2nd ed.). Brill Academic Publishers. pp. 357–359. "As for Djābir's historic personality, Holmyard has suggested that his father was "a certain Azdī called Hayyan, druggist of Kufa...mentioned...in connection with the political machinations that, in the eighth century, finally resulted in the overthrow of the Umayyad dynasty."
  3. ^ Holmyard, E. J.; Jabir, Richard Russell (1997-09). The Works of Geber. Kessinger Publishing. ISBN 978-0-7661-0015-2. "Abu Musa Jabir ibn Hayyan, generally known merely as Jabir, was the son of a druggist belonging to the famous South Arabian tribe of Al-Azd. Members of this tribe had settled at the town of Kufa, in Iraq, shortly after the Muhammadan conquest in the seventh century A.D., and it was in Kufa that Hayyan the druggist lived."
  4. ^ Henderson, Joseph L.; Dyane N. Sherwood (2003). Transformation of the Psyche: The Symbolic Alchemy of the Splendor Solis. East Sussex, UK: Psychology Press. pp. 11. ISBN 1-58391-950-3.
  5. ^ a b Haq, Syed N. (1994). Names, Natures and Things. Dordrecht, The Netherlands: Boston Studies in the Philosophy of Science, Volume 158/ Kluwar Academic Publishers. pp. 14–20. ISBN 0-7923-3254-7.
  6. ^ a b "Abu Musa Jabir ibn Hayyan". Encyclopædia Britannica Online. Retrieved 11 February 2008.
  7. ^ Julian, Franklyn, Dictionary of the Occult, Kessinger Publishing, 2003, ISBN 0-7661-2816-4, ISBN 978-0-7661-2816-3, p. 8.
  8. ^ a b c Glick, Thomas; Eds (2005). Medieval science, technology, and medicine: an encyclopedia. New York: Routledge. pp. 279. ISBN 0-415-96930-1
  9. ^ Glick, Thomas F.; Livesey, Steven John; Wallis, Faith (2005). Medieval science, technology, and medicine: an encyclopedia. Routledge. ISBN 978-0-415-96930-7. Retrieved 19 June 2010.
  10. ^ a b c d e Haq, Syed Nomanul (28 February 1995). Names, Natures and Things: The Alchemist Jabir Ibn Hayyan and His Kitab Al-Ahjar (Book of Stones). Springer. pp. 3. ISBN 978-0-7923-3254-1. Retrieved 18 June 2010.
  11. ^ a b c d S.N. Nasr, "Life Sciences, Alchemy and Medicine", The Cambridge History of Iran, Cambridge, Volume 4, 1975, p. 412: "Jabir is entitled in the traditional sources as al-Azdi, al-Kufi, al-Tusi, al-Sufi. There is a debate as to whether he was an Arab from Kufa who lived in Khurasan or a Persian from Khorasan who later went to Kufa or whether he was, as some have suggested, of Syrian origin and later lived in Persia and Iraq".
  12. ^ a b c d Holmyard, Eric John (1931). Makers of chemistry. The Clarendon press. Retrieved 19 June 2010.
  13. ^ Richard Russell (1928). Holmyard, E.J.. ed. The Works of Geber. ISBN 0-7661-0015-4.
  14. ^ Henry Corbin, "The Voyage and the Messenger: Iran and Philosophy", Translated by Joseph H. Rowe, North Atlantic Books, 1998. p.45: "The Nisba al-Azdin certainly does not necessarily indicate Arab origin. Geber seems to have been a client of the Azd tribe established in Kufa"
  15. ^ E. J. Holmyard (ed.) The Arabic Works of Jabir ibn Hayyan, translated by Richard Russell in 1678. New York, E. P. Dutton (1928); Also Paris, P. Geuther.
  16. ^ a b "Iranica JAʿFAR AL-ṢĀDEQ iv. And Esoteric sciences". Retrieved 11 June 2011 The historical relations between Jaʿfar al-Ṣādeq and Jāber b. Ḥayyān remain very controversial, as they are linked to still unresolved questions about dating, composition, and authorship of the texts attributed to Jāber. Scholars such as Julius Ruska, Paul Kraus, and Pierre Lory consider Jaʿfar al-Ṣādeq’s involvement in the transmission of alchemical knowledge as a literary fiction, whereas Fuat Sezgin, Toufic Fahd, and Nomanul Haq are rather inclined to accept the existence of alchemical activity in Medina in Jaʿfar al-Ṣādeq’s time, although they remain cautious regarding the authenticity of the attribution of the Jaberian corpus to Jāber b. Ḥayyān and of the alchemical works to Jaʿfar al-Ṣādeq (Ruska, 1924, pp. 40-52; idem, 1927, pp. 264-66; Kraus, I, pp. LV-LVII; Lory, pp. 14-21, 57-59, 101-7; Sezgin, I, p. 529, IV, pp. 128-31; Fahd, 1970, pp. 139-41; Nomanul Haq, pp. 3-47)..
  17. ^ Josef W. Meri, Jere L. Bacharach (2006). Medieval Islamic Civilization. Taylor and Francis. p. 25. ISBN 0-415-96691-4
  18. ^ Jabir Ibn Hayyan. Vol. 1. Le corpus des ecrits jabiriens. George Olms Verlag, 1989
  19. ^ Paul Kraus, Jabir ibn Hayyan: Contribution à l'histoire des idées scientifiques dans l'Islam, cited Robert Irwin, 'The long siesta' in Times Literary Supllement, 25/1/2008 p.8
  20. ^ Julian, Franklyn, Dictionary of the Occult, Kessinger Publishing, 2003, ISBN 0-7661-2816-4, ISBN 978-0-7661-2816-3, p. 9.
  21. ^ a b KIMIĀ (“Alchemy”), encyclopedia Iranica, Retrieved on 14 February 2009.
  22. ^ {{cite web|url=http://www.usc.edu/schools/college/crcc/private/cmje/heritage/History_of_Islamic_Science.pdf |title=History of Islamic Science |publisher=[[University of Southern California}}
  23. ^ Holmyard, E. J. (1931). Makers of Chemistry. Oxford: Clarendon Press. pp. 57–8.
  24. ^ Norris, John (March 2006). "The Mineral Exhalation Theory of Metallogenesis in Pre-Modern Mineral Science". Ambix (Society for the History of Alchemy and Chemistry) 53: 43–65. doi:10.1179/174582306X93183.
  25. ^ Georges C. Anawati, "Arabic alchemy", in R. Rashed (1996), The Encyclopaedia of the History of Arabic Science, Vol. 3, p. 853-902 [866].
  26. ^ Schufle, J. A.; Thomas, George (Winter 1971). "Equivalent Weights from Bergman's Data on Phlogiston Content of Metals". Isis 62 (4): 500. doi:10.1086/350792
  27. ^ a b Holmyard, E. J. (1931). Makers of Chemistry. Oxford: Clarendon Press. p. 60.
  28. ^ a b Ansari, Farzana Latif; Qureshi, Rumana; Qureshi, Masood Latif (1998). Electrocyclic reactions: from fundamentals to research. Wiley-VCH. p. 2. ISBN 3-527-29755-3
  29. ^ Will Durant (1980). The Age of Faith (The Story of Civilization, Volume 4), p. 162-186. Simon & Schuster. ISBN 0-671-01200-2.
  30. ^ a b c Ḥusain, Muẓaffar. Islam's Contribution to Science. Page 94.
  31. ^ Cite error: Invalid <ref> tag; no text was provided for refs named Asimov.2C_Isaac._1982.; see the help page.
  32. ^ Ismail al-Faruqi and Lois Lamya al-Faruqi (1986), The Cultural Atlas of Islam, p. 328, New York
  33. ^ a b c Forbes, Robert James (1970). A short history of the art of distillation: from the beginnings up to the death of Cellier Blumenthal. BRILL. ISBN 978-90-04-00617-1. Retrieved 26 June 2010.
  34. ^ Ragai, Jehane (1992). "The Philosopher's Stone: Alchemy and Chemistry". Journal of Comparative Poetics 12 (Metaphor and Allegory in the Middle Ages): 58–77
  35. ^ Holmyard, E. J. (1924). "Maslama al-Majriti and the Rutbatu'l-Hakim". Isis 6 (3): 293–305
  36. ^ Kraus, Paul, Jâbir ibn Hayyân, Contribution à l'histoire des idées scientifiques dans l'Islam. I. Le corpus des écrits jâbiriens. II. Jâbir et la science grecque,. Cairo (1942-1943). Repr. By Fuat Sezgin, (Natural Sciences in Islam. 67-68), Frankfurt. 2002
  37. ^ gibberish, Grose 1811 Dictionary
  38. ^ Seaborg, Glenn T. (March 1980). "Our heritage of the elements". Metallurgical and Materials Transactions B (Springer Boston) 11 (1): 5–19
  39. ^ Holmyard, Eric John. Alchemy. Page 82
  40. ^ Arthur John Hopkins, Alchemy Child of Greek Philosophy, Published by Kessinger Publishing, LLC, 2007, ISBN 0-548-13547-9, p. 140
  41. ^ "Geber". Encyclopædia Britannica Online. Retrieved 9 December 2008.
  42. ^ Openness, Secrecy, Authorship: Technical Arts and the Culture of Knowledge from Antiquity to the Renaissance By Pamela O. Long Edition: illustrated Published by JHU Press, 2001 ISBN 0-8018-6606-5, ISBN 978-0-8018-6606-7
  43. ^ a b Alchemy on Islamic Times, Retrieved on 14 February 2009.
  44. ^ Ihde, Aaron John (1 April 1984). The development of modern chemistry. Courier Dover Publications. p. 16. ISBN 978-0-486-64235-2. Retrieved 14 June 2010.
  45. ^ P. Crosland, Maurice, Historical Studies in the Language of Chemistry, Courier Dover Publications, 2004 1962, ISBN 0-486-43802-3, ISBN 978-0-486-43802-3, p. 15
  46. ^ Long, Pamela O. (2001). Openness, secrecy, authorship: technical arts and the culture of knowledge from antiquity to the Renaissance. Baltimore: Johns Hopkins University Press. ISBN 0-8018-6606-5.
  47. ^ Hugh Chisholm, ed. (1910). "Geber". Encyclopædia Britannica Eleventh Edition (11th ed.). pp. 545–546.
  48. ^ Thomas F. Glick, Steven John Livesey, Faith Wallis, Medieval Science, Technology, and Medicine: An Encyclopedia, Routledge, 2005, ISBN 0-415-96930-1, ISBN 978-0-415-96930-7, p. 279-300
  49. ^ William R. Newman, The Summa Perfectionis of Pseudo-Geber. A Critical Edition, Translation and Study, Leyde: E. J. Brill, 1991 (Collection de travaux de l'Académie Internationale d'Histoire des Sciences, 35).
  50. ^ Quote from Marcellin Berthelot at 1911encyclopedia.org.
  51. ^ Coelho, Paulo. The Alchemist. ISBN 006112416, p. 82.

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget