Articles by "Mualaf"


Mualaf Australia Ini Bangga Menjadi Muslim

Alexander Husseini
Australia bukanlah negara Islam. Kebudayaan Barat yang dianut Australia pun kerap bertolak belakang dengan ajaran agama Islam.
Tetapi bagi Alexander Husseini, atau Alex, hal ini tidak membuatnya membatasi pergaulan.
"Islam mengajarkan pemeluknya untuk memiliki karakter yang kuat. Sebagai Muslim, kita harus tunjukkan kalau bertingkah laku yang beradab," ujarnya.
Usianya masih terbilang sangat muda, 21 tahun. Tetapi justru ia tidak ingin masa mudanya hilang begitu saja. Ia ingin terus teguh memegang keimanannya, sambil berharap bisa membantu orang lain.
Menurut Alex, jika kita mampu berperilaku seperti apa yang sudah diajarkan Islam, maka orang lain akan semakin menghormati kita. Tak jarang, bahkan menjadi panutan bagi yang lain.
Alex sehari-harinya bekerja membantu bisnis keluarganya, yakni sebuah toko keju yang selalu ramai dikunjungi di pasar terkemuka, Queen Victoria Market di Melbourne.
Ia bukanlah termasuk orang yang malu untuk mengakui dirinya adalah seorang Muslim, ditengah pemberitaan soal Islam yang kerap kali terdengar miring. "Saya jelaskan kepada teman yang lain, jika shalat itu adalah untuk membuat rileks setelah berbagai kesibukan. Juga tempat dimana kita berharap dan berdoa pada Sang Pencipta," kata Alex.
"Mungkin sama saja bagi sebagian yang melakukan yoga, ya itulah shalat bagi saya."
"Sementara, puasa adalah untuk ikut merasakan apa yang dialami oleh mereka yang tidak mampu."
"Bulan Ramadan juga adalah saat yang tepat untuk berbagi. Bayangkan jika kita semua memberikan sumbangan kepada mereka yang membutuhkan, mungkin masalah kemiskinan bisa diatasi," tambahnya.
Di tengah kesibukannya, ia kerap bermain sepak bola, salah satu kegemarannya.
Tak jarang, beberapa diantara temannya kadang merayakan kemenangan dengan berpesta atau minum alkohol, hal yang dilarang dalam ajaran Islam. "Yang terpenting adalah selalu berperilaku terbaik untuk menjaga moral," tanggapnya soal bagaimana menolak ajakan dan godaan dari sekitar.
Alex pun merasa beruntung karena ia tidak pernah mengalami diskriminasi atau kekerasan yang berbau suku dan agama.
Menurutnya, warga Australia tidak akan langsung begitu saja dalam menghakimi atau menilai seseorang. "Di sini orang akan menilai kita secara bertahap, karenanya jika kita terus menunjukkan yang akhlak yang terbaik, maka orang pun akan sungkan menuduh kita macam-macam."
Alex memiliki harapan dan mimpi besar bagi Australia. "Kita antar umat beragama sebenarnya bisa mudah bersatu karena ada kesamaan."
"Kesamaan ajarannya adalah selalu ingin membantu orang yang kesusahan, membantu yang sakit, misalnya," tambahnya. "Jika ini yang dipersatukan, maka akan sangat bermanfaat dan berguna untuk orang lain"

 Novel Itu Mengantarkannya Menjadi Seorang Mualaf
Molly Carlson

Molly Carlson tak menduga sebuah buku fiksi yang dibacanya di masa kecil akan membuatnya mengenal Islam. Selanjutnya perkenalan itu secara tidak sadar membekas di hatinya.

Membuatnya diam-diam meyakini Islam sebagai agama yang paling benar. Bahwa semua doa, pelayanan, dan salib yang disilangkannya dengan jari di dadanya, hanyalah sebuah kegiatan yang selama ini tak menyentuh hatinya.

“Saya tidak ingat berapa umur saya ketika membaca buku itu, tapi saya ingat betul satu adegan di buku itu yang membuat saya mengenal Islam dan mempertanyakan identitas saya sebagai Katolik,” ujarnya. Itu adalah buku King of the Wind karangan Marguerite Henry. Buku itu menceritakan tentang seorang anak laki-laki yang berasal dari Maroko dan kudanya.

Sementara adegan yang dikenang Molly adalah ketika anak tersebut dikisahkan berpuasa saat Ramadhan. “Entah mengapa setelah membaca kisah tersebut, hati saya tiba-tiba tergerak,” katanya. Sejak itu, dia mulai tertarik terhadap Islam. Rasa penasaran menuntunnya untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang Islam dan agamanya saat itu.

Lalu beberapa mimpi menuntunnya untuk mengenal Islam lebih dalam. “Pada umur 12 tahun saya mendapatkan mimpi misterius yang tidak benar-benar saya mengerti. Tidak menakutkan, namun mimpi itu seperti merefleksi hati saya ketika itu,” ujarnya. Di mimpi itu, Molly berdiri di sebuah ruangan kotak yang dindingnya terbuat dari kayu dan memiliki karpet berpola di lantainya. Ruangan tersebut diterangi oleh lentera.

Molly berdiri di tengah ruangan tersebut. Di sebelah kirinya terdapat sebuah pintu kayu berukir untuk masuk ke ruangan lainnya. Meskipun terpisah pintu, namun dalam mimpi tersebut Molly melihat banyak perempuan di dalam ruangan tersebut. Mereka semua menggunakan hijab. Sementara ruangan tempat dia berdiri saat itu adalah ruangan yang dipenuhi laki-laki.

Di dalam mimpi itu, Molly sadar bahwa apa yang dilakukannya salah. Bahwa seharusnya dia tidak berada di ruangan tersebut. Bahwa seharusnya dia bergabung dengan para perempuan di ruangan sebalahnya. Dalam mimpi itu pula dia menyadari keberadaan sebuah kekuatan besar yang dipahaminya sebagai sosok Tuhan. Namun Dia merasa kecewa kepada Molly karena berada di ruangan tersebut. Entah mengapa, mengetahui hal tersebut, Molly merasa sangat sedih. Mimpi tersebut membuat Molly kecil semakin bertanya-tanya.


                                                                           ***

Di lain waktu, mimpi lain menyerbunya. Saat itu, Molly telah cukup dewasa untuk membuat keputusan atas dirinya. Dalam mimpi tersebut, Molly melihat seorang perempuan berdiri di sebelahnya. Perempuan itu menggunakan hijab hitam yang menutup tubuhnya dari kepala hingga ujung kaki, seperti seorang ninja. Molly hanya bisa melihat mata perempuan itu.

Dia merasa takut melihat sosok tersebut, namun lalu memberanikan diri untuk mendekat kepada perempuan tersebut. Dia melihat mata perempuan tersebut lebih seksama. Dia terkejut mengetahuo bahwa perempuan yang berada di depannya itu adalah dirinya sendiri. “Saya bisa tahu dari mata itu. Itu mata saya. Kami seperti cermin. Sejenak saya berpikir bahwa mimpi tersebut adalah masa depan saya kelak,” ujarnya.

Kejadian demi kejadian tak lantas membuatnya sebagai muslim. Eksplorasinya tentang Islam yang lebih mendalam  baru dilakukan setelah peristiwa 9/11. “Saat itu saya sedang menempuh semester pertama saya di kuliah. Saya berusia 18 tahun,” katanya. Ketika peristiwa itu terjadi, Molly memiliki sejumlah teman dekat yang beragama Islam. Namun selama ini, pertemanan mereka tidak banyak menyinggung soal agama. “Kami tidak membahas tentang agama setiap kali bertemu. Mereka tidak pernah mempertanyakan keyakinan saya dan tidak pernah memaksakan keyakinan mereka kepada saya,” katanya.

Sayangnya peristiwa tersebut telah menyebarkan kebencian terhadap muslim. Namun tidak demikian dengan Molly. Penilaiannya tentang teman-temannya itu tidak berubah. Mereka tetap menjadi sahabat baik bagi Molly. Tak ada kebencian yang ada adalah simpati. Bukan pada korban yang meninggal karena peristiwa tersebut, namun pada teman-temannya yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kejadian itu tetap dihakimi hanya karena mereka muslim.

“Saya tidak tega melihat teman saya diperlakukan tidak baik pasca kejadian tersebut. Saya sudah mengenal mereka sejak lama. Mereka orang yang sangat baik. Bukan teroris ataupun ekstremis,” ujarnya.

Suatu kali, Molly pernah meminjam hijab, abaya, dan niqab milik seorang temannya dan datang ke kampusnya dengan penampilan tersebut. Hal tersebut dilakukannya hanya untuk mencari tahu bagaimana rasanya menjadi mereka. “Kenyataannya saya benar-benar diperlakukan secara berbeda. Perlakukan yang keras bahkan membuat saya menangis,” ujarnya.

Perlakukan tersebut tak menyurutkan keputusannya untuk memeluk Islam di kemudian hati. Pada 2005, ketika usinya 22 tahun, di ruang tamu sebuah keluarga Muslim kenalannya, Molly membaca syahadat.

“Saya masih ingat betul perasaan saya saat itu. Saya merasakan tangan Tuhan merangkul saya dan mencabut dosa saya serta membuat saya menjadi orang yang baru,” katanya. Sejak saat itu, Molly tidak pernah melihat ke belakang. “Saya tidak pernah menyesali keputusan saya. Saya menemukan lebih banyak arti dan kesenangan dalam hidup saya setelah menjadi muslim,” ujarnya.

Kaligrafi Masjid Ajhambra Spanyo (Insert: Karima Burns)

Hidayah memang bisa datang dari arah yang tak terduga. Bagi Karima Burns, mahasiswa asal Iowa, Amerika Serikat, hidayah justru datang saat ia tengah berwisata ke Spanyol.

Pemandu wisatanya mengajaknya ke Masjid Alhambra di Granada, Spanyol. Melihat banyak ejaan Arab bertebaran di bangunan yang kini menjadi salah satu daya tarik wisata panyol ini, ia tertegun. "Itu adalah bahasa yang paling indah yang pernah kulihat," ujarnya.
 
"Bahasa apa itu?" ia berkata pada seorang turis Spanyol. "Bahasa Arab," jawab mereka.
 
Hari berikutnya, ketika petugas tur ditanya tentang bahasa apa yang dia ingin di buku turnya, ia menjawab, "Arab."
 
"Arab?" katanya, terkejut. "Apakah Anda bisa berbicara bahasa Arab?"
 
"Tidak," Karima menjawab. "Dapatkah Anda memberi saya satu dalam bahasa Inggris juga?"
 
Pada akhir perjalanan, tasnya penuh brosur berbahasa Arab. "Aku memperlakukannya seolah-olah mereka terbuat dari emas. Aku akan membukanya setiap malam dan melihat huruf-huruf yang mengalir di seluruh halaman," ujarnya.
Hari itu dia bertekad, akan belajar bahasa Arab.
***
Karima dibesarkan di Midwest. Orang tuanya penganut agama yang taat. Namun Karima selalu bertanya-tanya, mengapa berdoa pada Tuhan harus melalui perantara?

"Aku intuitif merasa bahwa ada sesuatu yang salah dengan itu. Tanpa memberitahu siapa pun, aku diam-diam berdoa kepada "Tuhan." Saya sungguh-sungguh percaya bahwa hanya ada satu entitas berdoa. Tapi, aku merasa bersalah karena ini bukan apa yang telah agama lama saya ajarkan."
 
Suatu hari, acara bersilaturahim ke rumah guru rohaninya semakin membulatkan tekad untuk meninggalkan agama itu. "Aku melihat rak penuh dengan Alkitab. Aku bertanya apa saja kitab itu. "Versi berbeda dari Alkitab," jawab guruku. Ini tampaknya tidak terganggu dia sama sekali bahwa ada begitu banyak versi yang berbeda. Tapi, itu menggangguku. Beberapa dari mereka benar-benar berbeda dan beberapa bab bahkan hilang dari Alkitab yang aku punya. Aku sungguh bingung," ujarnya.
***
Muslim gugur usai, Karima kembali ke kampusnya di Northwestern University. Liburan ke Spanyol, sungguh mencerahkannya.
 
Ia seolah menemukan alternatif dari kebuntuannya. "Aku telah meninggalkan gereja hanya beberapa bulan sebelum pergi berlibur dan tidak tahu ke mana harus berpaling. Aku tahu bahwa aku tidak nyaman dengan apa yang apa yang diajarkan selama ini, tapi aku tidak tahu apakah ada alternatif lain," katanya.
 
Kembali ke kampus, ia mengambil kelas bahasa Arab juga. "Aku ingat, aku adalah salah satu dari hanya tiga orang di kelas yang sangat tidak populer itu," ujarnya terkekeh.
 
Ia menenggelamkan diri dalam studi bahasa Arab dengan gairah yang menyala. Ia senang mengerjakan PR kaligrafi dan ia pergi ke daerah-daerah Arab di Chicago hanya untuk melacak botol Coca Cola yang ditulis dalam bahasa itu.
 
Hingga suatu hari, ia berkenalan dengan Alquran. Salah satu tugasnya, adalah menyalin beberapa ayat. Bukannya mengerjakan, dia malah asyik berselancar dari satu ayat ke ayat lainnya. "Sungguh indah. Itu yang aku cari selama ini, agama yang menyatakan sangat jelas bahwa hanya ada satu Allah," ujarnya.
 
Sebuah nama dalam Alquran diyakini sebagai "pemilik versi" Alquran, seperti halnya ada Injil dengan beragam versi. Namun ketika ia mengungkapkan para profesornya, sang profesor terkekeh.
 
"Hanya ada satu versi Alquran. Yang kau pikir, itu adalah penerjemahnya," ia menirukan sang profesor.
 
Ia makin mendalami Alquran, bahkan kemudian memutuskan untuk pergi ke Mesir belajar Islam.
 
Suatu hari seorang teman bertanya mengapa ia tidak masuk Islam jika menyukainya begitu banyak. "Hatiku sudah Muslim," ia menjawab sekenanya.
 
Namun sang teman menyatakan, bersyahadat tetap harus. Maka, di sebuah masjid di Mesir, ia menyatakan keislamannya.



Fotografi telah mengenalkan Islam kepada Barat,” begitu kata Peter Sanders, fotografer kelas dunia yang juga pemilik Peter Sanders Photography Library seperti dikutip harian Al-Watan edisi 29 Januari 2008.

Sanders menyatakan bahwa masyarakat Barat banyak yang tak tahu dan tak mengenal Islam secara benar. Namun, peristiwa 11 September 2001 telah membawa masyarakat Barat untuk mengetahui Islam yang sebenarnya secara lebih mendetail. Termasuk, melalui hasil karya seni atau fotografi, seperti yang dihasilkannya. Karena, menurut Sanders, hasil fotografi yang indah akan lebih cepat memperkenalkan Islam kepada masyarakat Barat.


Sebagai salah satu fotografer legendaris dan ternama, Sanders terbilang unik. Ia tak pernah mengenyam pendidikan fotografi, sebagaimana umumnya para fotografer profesional. Sanders hanya belajar fotografi secara autodidak.
 
Kursus fotografi pertama Sanders justru dilakukan akhir 1990 di Swiss atau tiga dasawarsa setelah ia malang melintang di jagat fotografi. “Itu pun karena saya mendapat proyek di Arab Saudi yang menuntut penggunaan kamera format besar,” tuturnya.

Sanders muda mengaku sering kesulitan uang. Tapi, ia berani berspekulasi dengan menjadi seorang fotografer. Ia menjajakan karya-karyanya ke penerbitan, koran, majalah, atau sampul album musik.
 
Sanders mengaku terjun ke dunia fotografi hanya menuruti panggilan hatinya. Sebab, ia tak memiliki kemampuan dan keahlian yang bisa diandalkan. Lantaran hobi, ia merasa bakal mampu survive di dunia fotografi kendati tanpa harus memiliki titel mentereng.
 
Saat ini, Sanders memiliki Peter Sanders Photography Library. Ini semacam pepustakaan yang mendokumentasi karya Sanders sepanjang 39 tahun kariernya di dunia Muslim. Ada lebih dari 250 ribu foto dalam bentuk digital di situ. Ia menjualnya untuk keperluan majalah atau buku-buku tentang Islam.
 
Dunia fotografi profesional sudah Sanders tekuni lebih dari 50 tahun lamanya. Namun, tidak demikian dengan dunia spiritualnya saat ini. Sang fotografer kawakan kelahiran London, Inggris, 64 tahun silam ini memang tidak dilahirkan dari keluarga Muslim. Agama Islam sendiri baru dikenalnya pada saat ia melakukan perjalanan ke India pada 1970.
 
Ia mulai berkarier dalam dunia fotografi pada pertengan tahun 1960-an. Saat itu, fotografi yang sedang ngetrend adalah mengabadikan bintang-bintang musik terkenal. Begitu juga dengan Sanders. Ia berdiri di bibir panggung para superstar hanya untuk mengabadikan aksi panggung Bob Dylan, Jimi Hendrix, The Doors, The Who, atau Rolling Stones.
 
Namun, Sanders merasa jiwanya kering. Kejenuhan akan objek yang itu-itu saja dan persepsinya terhadap fotografi akhirnya membawa dia pada sebuah perjalanan yang rumit. Ia merasa dunia fotografi semakin tak menantang. Hal itu membuatnya semakin gelisah. Maka, pada 1970, ia mengembara hingga ke India.
 
Perjalanan ini pun membawa Sanders pada dunia yang belum pernah dikenalnya. Ia mulai mengenal Islam dan mencoba mempelajarinya. Semakin lama, ia makin terpesona dengan keindahan Islam.

“Ketika itu, usia saya baru menginjak 24 tahun. Saya bertanya tentang mati. Usaikah diri kita setelah mati? Pertanyaan itu terus menghantui saya. Saya pergi ke India. Saya belajar Hindu, Buddha, Sikh, dan Islam,” ungkapnya mengkisahkan awal mula perjalanannya menemukan Islam.
 
Saat berada di India, Sanders mengalami peristiwa yang amat berkesan. Pada suatu pagi, saat tengah menunggu kereta api di stasiun yang penuh dengan orang dan hiruk pikuk keramaian, seorang ibu tiba-tiba menggelar tikar di dekatnya. Ibu tersebut lantas melakukan gerakan shalat di situ. Hal ini mengejutkan Sanders. Sebab, selama ini dia memang belum pernah melihat orang shalat.
 
Kemudian, Sanders bertanya kepada seorang anak muda yang berdiri di dekatnya. “Apakah ini?” Anak muda tersebut menjawab, “Ini nenek saya. Dia seorang Muslim. Ia sedang shalat.” Momen tersebut terus terekam dalam ingatannya.

Setelah perjalanan ke India tersebut, ia kembali ke Inggris dan mendapati teman-teman lamanya banyak yang terjerumus dalam penggunaan narkoba. Namun, beberapa orang temannya ada yang menjadi Muslim dan terhindar dari dunia narkoba dan kehidupan malam.

Dari sini, ia seakan mendapatkan petunjuk. “Inilah jalan yang harus saya tempuh.” Begitu batinnya mengatakan. Akhirnya, ia memutuskan masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Abd al-Adheem.
 
Di sebuah koran beberapa tahun lalu, Sanders membuka rahasia mengapa ia memilih Islam. Menurutnya, tak ada yang menariknya kepada agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW, selain yang menciptakan manusia. “Tuhanlah yang memilihkan untuk saya,” katanya.
 
Maka, seusai mendeklarasikan keislamannya ini, Sanders tampak makin bersahaja. Ia tak lagi merasa kering dan gersangnya hati. Islam memberi roh pada pekerjaannya. Islam juga mengilhaminya pada sebuah jalan baru untuk makin menekuni dunia fotografi, namun dengan objek yang berbeda.
 
Tahun itu juga, Sanders memutuskan pensiun menjadi fotografer selebriti. Ia memulai pengembaraannya ke negeri-negeri Muslim. Tiga bulan setelah masuk Islam, ia berkesempatan menunaikan ibadah haji ke Makkah atas biaya dari seorang kenalannya.
 
Saat menunaikan ibadah haji, Sanders mendapat kesempatan untuk memotret Ka’bah dan lautan jamaah haji dari jarak dekat. Pada tahun 1971, saat itu masih terbilang sulit untuk bisa mengambil gambar di Makkah dan Ka’bah pada khususnya serta lokasi lain di Arab Saudi. Namun, berkat keuletannya, dia mendapatkan izin dari orang yang tepat dan terpandang di Arab Saudi saat itu.
 
Foto-foto perjalanan spiritualnya dimuat di media-media utama Barat untuk pertama kalinya, seperti The Sunday Times Magazine dan The Observer.


Puasa pada bulan Ramadhan ternyata membawa efek yang luar biasa bagi jiwa seseorang. Terbukti, seorang Pendeta Amerika, Wess Magruder, dikabarkan telah memutuskan untuk turut serta dan mengambil bagian pada bulan suci Ramadhan tahun ini. 
 
Bersama dengan teman-teman Muslimnya, ia berpuasa, berdoa dan ikut membaca Alquran. Sang pendeta tidak hanya ikut beribadah puasa Ramadhan layaknya seorang Muslim, tetapi juga ia berbagi pengalaman selama ia berpuasa di blog pribadinya, sebuah media melaporkan.
 
“Saya merasa  sebuah “Ilham” telah datang kepada saya selama berpuasa,” tulis Magruder di blognya. “Dengan berpuasa, membuat saya sadar akan Tuhan, kehadiran Tuhan, dan kehendak Tuhan yang tiba-tiba menjadi nyata di dunia. Dan ketika sesuatu yang lain tidak terjadi di depan saya , saya seolah-olah dapat berbicara kepada Tuhan,” tambah Magruder.
 
Magruder juga menulis bahwa ia telah beralih ke agama Islam, karena ia merasa takjub bahwa umat Islam mampu berpuasa selama 30 hari setiap tahun selama bulan Ramadhan. Dan ini telah berlangsung selama lebih dari 1.400 tahun.

“Saya merasa sangat senang dan beruntung sekarang,” tulis Magruder, yang telah berhasil berpuasa dari terbit fajar sampai matahari terbenam. Dalam blognya, Magruder mengundang semua orang Kristen untuk mencoba pengalaman berpuasa, walaupun hanya satu hari.
 
Muslim yang taat, benar-benar berhenti total dari makan dan minum pada siang hari. Selanjutnya, efek dari puasa ini akan mampu menjaga semua anggota badan untuk selalu tunduk kepada Allah, dengan menahan diri dari perilaku dan moral yang buruk. (islampos)

Stasiun televisi terkemuka CNN mewawancarai seseorang bernama Michael Wolfe tak lama setelah terjadi insiden saat pelaksanaan lontar jumrah, beberapa tahun lalu. Meski memiliki nama Barat, namun nyatanya Wolfe mampu memberikan penjelasan secara gamblang dan panjang lebar terkait ibadah haji, maupun peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya.
 
Wolfe juga memaparkan dengan rinci segala hal menyangkut penyelenggaraan ibadah haji, mulai dari rukun haji, tata cara, hingga makna pada setiap ibadah yang dilakukan. Tapi, siapakah Michael Wolfe? Sejatinya, Wolfe adalah penulis buku berjudul One Thousand Roads to Mecca : Ten Centuries of Travelers Writing About the Muslim Pilgrimage. Selain itu, dia pernah membuat film dokumenter tentang ibadah haji untuk stasiun televisi yang sama.
 
Jadi, bila ditilik dari curriculum vitae-nya ini, tak salah jika stasiun televisi tersebut memilih Wolfe sebagai nara sumbernya. Dia juga dikenal sebagai produser, penulis, serta cendekiawan. Selain menghasilkan karya buku dan film, dia kerap memberikan kuliah umum mengenai agama Islam di sejumlah universitas kondang di AS.
 
Kiprah pria kelahiran 3 April 1945 itu dalam agama Islam merupakan wujud komitmennya sebagai seorang Muslim, setelah ia mengikrarkan dirinya sebagai pemeluk Islam (mualaf). Michael Wolfe menjadi Muslim pada tahun 80-an, dan sejak itu dia berkhidmat bagi kemajuan agama Islam dan umat Muslim di seluruh dunia.

Bermula pada akhir tahun 70, Wolfe yang kala itu sudah menjadi seorang penulis, ingin mencari pencerahan dalam hidupnya. Dia berupaya melembutkan perasaan sinisnya dalam melihat kondisi lingkungan di sekelilingnya.
 
Terlahir dalam keluarga yang mempunyai dua pegangan agama, ayahnya adalah keturunan Yahudi, sementara sang ibunda penganut Kristen. Situasi tersebut menyebabkan Wolfe agak tertekan apabila harus membicarakan isu agama dan kebebasan.
 
Hingga kemudian dia menemukan satu momen berkesan. Suatu ketika dia menempuh perjalanan menuju Brussels, Belgia. Begitu selesai makan malam, Wolfe pergi ke toilet. Pada waktu bersamaan, sejumlah penumpang pesawat yang beragama Islam melaksanakan shalat di bangku masing-masing karena sudah masuk waktu shalat Isya.
 
Wolfe yang keluar dari toilet, terkesima melihat peristiwa itu. Dirinya terus mencermati ibadah yang dilakukan umat Muslim. Dia lantas menyadari, di manapun dan kapan pun, orang-orang Islam yang beriman tidak akan pernah melalaikan kewajiban ibadahnya kepada Tuhan. “Saya hanya berdiri dan mencermati, Saya melihat sebagian mereka memegang sebuah buku sebesar telapak tangan yang kemudian meletakkannya di dada sambil memuji Tuhannya,” ungkap Wolfe.

Kejadian ini membawa Wolfe ingin lebih mengenal Islam. Dia ingin menemukan agama yang tidak hanya sebatas ritual atau pemujaan, serta tidak ada keraguan di dalamnya. Wolfe lantas memutuskan mengembara ke Afrika Utara, dan menetap di kawasan tersebut selama lebih kurang tiga tahun.
 
Di sana, dia berinteraksi dengan lingkungan yang sama sekali berbeda. Wolfe bertemu dengan banyak etnis, suku dan agama, termasuk dengan kalangan keturunan Arab dan Afrika yang beragama Islam. Itulah untuk kali pertama perkenalannya yang benar-benar intens dengan Islam. Dan segera saja, dia merasakan suasana yang lebih akrab, santun dan tenggang rasa. Umat Muslim menerimanya dengan tangan terbuka.
 
Dari pengamatannya, seperti dikutip dari laman Islamfortoday , umat Islam tidak pernah membedakan seseorang berdasarkan etnis ataupun warna kulit. Siapa pun dipandang sama serta setara, baik miskin, kaya, tua, muda, dan sebagainya. Islam hanya membedakan orang per orang berdasarkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
 
Hal ini jelas sangat kontras dengan kehidupannya dulu. Misalnya, dalam pergaulan antarsesama, justru kerap timbul diskriminasi karena perbedaan warna kulit, etnis atau keyakinan. “Ini terjadi setiap hari di masyarakat padahal mereka mengaku punya keyakinan agama. Sungguh memprihatinkan,” paparnya.
 
Dia pun menemukan kedamaian dalam Islam. Dalam hati, dia membenarkan pernyataan tokoh Muslim AS, Malcolm X, yang berkata bahwa orang Amerika perlu memahami Islam karena Islam adalah satu-satunya agama yang mengajarkan saling menghormati dan menghargai antarmanusia secara tulus.

Penulis artikel berjudul Islam: The Next American Religion? ini pun berpendapat, Islam merupakan agama yang sesuai bagi kondisi Amerika. Ada beberapa alasan, antara lain, Islam memiliki semangat demokrasi, egaliter, serta toleran terhadap keyakinan lain.
 
Wolfe tercatat dua kali mengadakan perjalanan ke Maroko, yakni pada tahun 1981 dan 1985. Pada akhirnya dia berkesimpulan bahwa Afrika Utara merupakan wilayah yang bisa menghadirkan keseimbangan baru dalam hidupnya. Hatinya tertambat di Afrika Utara. Dan tak hanya tertambat pada Afrika Utara, hatinya mulai terkesima dan takjub dengan Islam. Semakin banyak mendalami Islam, semakin kuat keyakinan dalam dirinya. Michael Wolfe akhirnya memutuskan menjadi Muslim.
 
Keputusannya ini disayangkan oleh rekan-rekannya yang terdiri dari kalangan akademisi Barat. Sebagian mereka masih mengaitkan Islam dengan masyarakat yang terbelakang dan agama kekerasan. Mereka pun meminta Wolfe untuk mengurungkan keputusan tersebut.
 
Akan tetapi, Wolfe yang kemudian berganti nama menjadi Michael Abdul Majeed Wolfe, tidak goyah. Wolfe menilai rekan-rekannya keliru menilai Islam. Islam, dari pengamatannya, selama ini banyak disalahartikan dan diputarbalikkan dari kenyataan yang sebenarnya. “Pendeknya, Islam adalah agama damai,” tegas Wolfe.
Dirinya kian mantap memeluk Islam, dengan segala konsekuensinya, karena dia melihat kebaikan dan keutamaan dalam agama ini. Menurutnya, agama Islam justru menekankan pada persaudaraan dan cinta kasih, baik kepada sesama manusia juga alam semesta.
 
Lebih jauh, tokoh ini melihat, dalam beberapa tahun ke depan, Islam akan menjadi agama dengan perkembangan paling pesat di Eropa dan Amerika. Dari tahun ke tahun, jumlah pemeluk Islam mengalami pertumbuhan, termasuk mereka yang menjadi mualaf, dan antara lain dipicu oleh semakin banyaknya orang yang memahami esensi sejati ajaran Islam tadi.
 
Wolfe semakin antusias mengikuti ibadah dan kegiatan keislaman. Dia membaca banyak buku tentang Islam dan melibatkan diri dengan aktivitas Masjid di dekat kediamannya di California. “Setiap tahun umat Islam berpuasa sebulan penuh dan diikuti dengan pelaksanaan haji kira-kira selama 40 hari. Itulah kemuliaan agama Islam,” katanya.
 
Dijelaskan, Islam berasaskan pada lima rukun utama. Salah satunya adalah haji. Wolfe percaya, bila telah mampu secara materi dan fisik, seseorang wajib hukumnya melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci, sekurang-kurang sekali seumur hidup.
 
Usai menunaikan ibadah haji sekitar awal tahun 1990, Wolfe memberikan sumbangan terbaiknya berupa buku berjudul Mecca: The Hadj yang diterbitkan pada 1993, dan One Thousand Roads to Mecca (1997). “Sekarang saya berharap dapat mendalami keyakinan agama yang sudah tersemai sejak sekian lama,” ujar Wolfe.
 
Melanjutkan kegiatan menulisnya, lulusan sarjana muda Seni Klasik di Universitas Wesleyan ini mendirikan penerbitan Tombouctou Books di Bolinas, California. Salah satu prestasinya yakni saat mengedit koleksi esai para penulis Muslim Amerika dalam buku bertajuk Taking Back Islam: American Muslims Reclaim Their Faith . Buku ini memenangi Anugerah Wilbur pada 2003 dalam kategori buku agama terbaik.
 
Wolfe juga pernah menjadi pembawa acara sebuah program film pendek tentang perjalanan haji ke Makkah untuk acara Ted Koppel’s Nightline di stasiun televisi ABC. Program tersebut juga berhasil meraih penghargaan media dari Muslim Public Affair Council.
 
Kecintaan Michael Wolfe tak perlu diragukan lagi. Hari-harinya senantiasa diisi dengan berbagai kegiatan keislaman. Di sela-sela kesibukannya menulis, yang ia jadikan sebagai media dakwah, Wolfe melebarkan syair Islam pada masyarakat luas, terutama non-Muslim melalui media lain. Pada Februari 2003, dia bekerjasama dengan wartawan televisi CNN, Zain Verjee, untuk membuat program film dokumenter tentang ibadah haji.
 
Pada tahun 1999, bersama dengan rekan sesama sineas, Alex Kronemer, Wolfe mendirikan sebuah yayasan pendidikan media yang diberi nama Unity Productions Foundation (UPF). Kolaborasi Wolfe dan Alex dalam UPF kemudian menghasilkan karya film dokumenter televisi mengenai kisah hidup Nabi Muhammad SAW berjudul Muhammad: Legacy of a Prophet.
 
Terkait film tersebut, Wolfe mengungkapkan mereka ingin menyasar dua audiens sekaligus. Pertama, kalangan terpelajar serta masyarakat awam Barat. Sebagian besar mereka belum banyak mengetahui tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW yang sesungguhnya, sehingga kerap memberikan persepsi negatif. Sedangkan kedua, masyarakat Muslim sendiri agar mereka lebih mengenal sosok Nabi SAW yang mulia.
 
Film ini mengambil lokasi di tiga negara, Arab Saudi, Yordania dan Amerika Serikat. Sejumlah tokoh agama, sejarawan dan cendekiawan semisal Syekh Hamza Yusuf, Karen Armstrong, Cherif Basiouni, Sayyid Hossen Nasr, serta banyak lagi, yang tercatat menjadi narasumbernya. Untuk menambah keakuratan, bersama dengan Kronemer, Wolfe mempelajari sirah (sejarah) serta buku-buku tentang hadis Rasulullah SAW. (kisahmuallaf)

Muslimah Writers Alliance, organisasi penulis perempuan mualaf Amerika, selama Ramadan berkampanye untuk mengimbau para muslim agar berhenti merokok.
Melalui program ini 'Ramadan Buddy' atau Teman Ramadan, organisasi penulis perempuan muallaf AS (MWA) mengimbau para muslim agar berhenti merokok (foto: Dok)..
Muslimah Writers Alliance (MWA), organisasi penulis perempuan mualaf yang berbasis internet, memiliki banyak program sepanjang bulan Ramadan. Salah satunya adalah kampanye Teman Ramadan atau Ramadan Buddy. Melalui program ini, MWA mengimbau Muslim agar berhenti merokok.

Aishah Schwartz, warga Amerika keturunan Mesir yang menjadi mualaf tahun 2002, Direktur MWA, mengatakan,Tujuan kampanye ini adalah untuk mengingatkan warga Muslim Amerika bahwa ada teman kita yang baru memeluk agama Islam. Agar mereka tahu, mereka tidak sendiri dalam bulan Ramadan ini."

Aishah Schwartz menambahkan, "Jadi itulah gagasan awalnya. Demikian adanya dalam dua tahun pertama kampanye ini. Lalu, pada tahun ketiga, saya punya gagasan untuk sekaligus mendorong orang agar berhenti merokok melalui kampanye ini. Insya Allah.”

Seorang Ramadan Buddy adalah saudari Muslim yang juga ingin berhenti merokok, sehingga dua orang yang baru berteman ini dapat saling mengingatkan untuk meninggalkan kebiasaan buruk itu, sementara saling mendukung dalam menghadapi tantangan berpuasa dan dalam menjalani hidup sebagai muslim.

Saya mengimbau warga muslim, terutama mereka yang dilahirkan sebagai Muslim, dibesarkan di lingkungan keluarga Muslim, atau tumbuh di negara mayoritas Islam, agar lebih sadar dengan adanya orang-orang yang baru memeluk Islam. Juga bagi mereka yang ingin mengajak orang untuk menjadi Islam, apa yang dapat kita lakukan setelah orang itu menjadi Islam? Mari kita dukung mereka, kita beri semangat, dan kita upayakan agar mereka merasa bagian dari keluarga. Karena banyak orang yang pindah agama, menjadi tidak dipedulikan oleh keluarga mereka sendiri. Jika sebuah kampanye seperti Ramadan Buddy dapat memberi sedikit saja dampak positif agar dapat membuat para mualaf tidak merasa seorang diri, maka menurut saya, itulah sukses, ” papar Schwartz lagi.

Seseorang yang berpartisipasi dalam program ini, hanya perlu bertemu Ramadan Buddy-nya dua sampai tiga kali seminggu. Yang perlu dilakukan hanyalah menghubungi Ramadan Buddy. Dengan demikian para mualaf tidak merasa sendiri dalam menjalani ibadah puasa dan lebih berkomitmen untuk berhenti merokok. 



“Saya sebenarnya agak ragu, ketika diminta berkisah tentang jalan hidup yang saya tempuh, dan bagaimana saya mendapatkan hidayah Allah,” sambungnya.

Wajar saja. Sebab, Cruz tak mau terjebak pada ketenaran semu sebagaimana yang terjadi pada sebagian orang, hanya karena mereka masuk Islam. Ia juga sadar, dirinya memiliki tantangan yang serupa. Apalagi mengingat statusnya sebagai seorang pendeta cukup kenamaan di kotanya.

“Namun, sekali lagi saya katakan, semoga saya tidak terjebak pada sikap riya karena memeluk agama yang dibawa Rasulullah ini. Semoga Allah, menjauhkan sifat itu dari diri saya,” harapnya.

Oleh sebab itu, ketika dimintai laman www.islamreligion.com untuk menuturkan perjalanan hidupnya. Cruz meminta agar penekanan kisah hidupnya fokus pada ‘kerja’ Allah yang telah memberinya sejumput hidayah. “Sebab, siapa pun takkan mungkin masuk Islam dan tulus mengikuti ajaran Rasulullah, jika ia tidak mendapat hidayah Allah,” ujarnya.

Jason Cruz lahir dalam keluarga Katolik Roma yang secara resmi tinggal di New York, AS. Sebenarnya, sang ibulah yang murni Katolik Roma. Sedangkan ayahnya seorang Presbiterian yang ‘terpaksa’ masuk Katolik hanya agar dapat menikahi sang bunda. “Kami selalu ke gereja tiap hari Minggu. Saya juga menjalani katekismus, komuni pertama, dan konfirmasi di Gereja Katolik Roma,” tuturnya.

Ketika masih belia, Cruz sudah merasa mendapat panggilan Tuhan. Panggilan ini ia tafsirkan sebagai panggilan imamat Katolik Roma. Ia pun mengungkapkannya pada sang bunda, “Ibu sangat bahagia mendengarnya, dan langsung mengajak saya untuk bertemu pastor di paroki setempat,” ungkapnya.

Sayangnya, si pastor tak terlalu senang diusik oleh kedatangan mereka. Ia bahkan menyarankan agar si bocah tidak terjun ke dunia imamat. Hal itu membuat Cruz sangat sedih. “Kejadian itu sangat menjengkelkan saya, bahkan hingga hari ini. Saya tak tahu bagaimana kondisinya akan berbeda, jika saja responsnya sedikit positif,” kata dia.

Sejak ditolak memenuhi seruan Tuhan di paroki tersebut, Cruz menjalani kehidupan yang lain; tenggelam dalam dunia malam. Apalagi, tak lama setelah kejadian di paroki, kedua orang tuanya bercerai. Cruz sangat kehilangan sosok ayah yang tak lagi hadir di dekatnya.
 
Sejak usia 15 tahunan, Cruz mulai lebih tertarik dengan klub malam ketimbang Tuhan. Usai lulus SMA dengan nilai yang memuaskan, ia pun masuk universitas dengan mudah. Namun, karena targetnya hidupnya yang tak jelas dan tak menentu, Cruz pun drop out (DO) dari bangku kuliah.

Ia kemudian pindah ke Arizona—tempatnya menetap hingga kini—ketimbang menyelesaikan kuliah dan meraih gelar sarjana. “Inilah yang saya sesalkan hingga kini,” ujar Cruz. “Setelah tinggal di Arizona, kehidupannya saya malah jadi kian parah.”

Ia mulai mengenal narkoba dan kian tenggelam dalam dunia malam dan pergaulan bebas. Demi mendapatkan obat-obat terlarang—dengan pendidikan yang pas-pasan—Cruz rela menjalani pekerjaan kasar dan hina. “Kalau tidak begitu, saya tidak dapat menikmati narkoba, pergaulan bebas, dan dunia malam,” ujarnya.

Selama masa-masa kelam ini, Cruz sempat bertemu dan bergaul dengan orang Muslim. Si Muslim rupanya seorang mahasiswa asing yang kuliah di salah satu kampus di Arizona. “Dia mengencani salah seorang teman saya, dan kerap menemani kami ke pesta dan klub-klub malam,” ungkapnya.

Cruz dan si Muslim memang tidak pernah bicara soal agama, apalagi tentang Islam. Namun demikian, ia kerap bertanya tentang ajaran dan budaya Islam kepada si Muslim. Si Muslim dengan senang hati menceramahi Cruz tentang Islam, walau yang bersangkutan tidak menunjukkan diri sebagai Muslim sejati. “Apa yang dia katakan, sangat berbeda dengan apa yang ia lakukan,” kata Cruz.

Gaya hidup Cruz yang buruk berlanjut selama beberapa tahun. Ia pun sempat trauma, karena beberapa orang yang dikenalnya meninggal. Ia juga pernah ditikam dalam sebuah tawuran.

“Yang dapat saya katakan adalah walau bagaimana pun buruknya kondisi yang anda alami, Allah pasti akan membalikkan keadaan anda, insya Allah,” kata dia. Saya segera berubah setelah benar-benar bersih dari narkoba. Salah satu bagian proses menjauhkan diri dari narkoba adalah dengan menjalin hubungan dengan yang Mahakuasa.”

Dalam upaya pencarian akan Tuhan ini, Cruz melewati sejumlah tahapan berliku sebelum mengenal Allah SWT. Sayang, ia tidak menemukan kebenaran (Allah) pada awalnya. Sebaliknya, ia mencoba mempelajari Hinduisme karena dianggap dapat mengakhiri penderitaan yang ia alami.
Cruz begitu serius mendalami ajaran Hindu. Ia bahkan mengubah namanya dengan nama Hindu.

“Saat itu aku merasa terbebas dari kecanduan obat-obatan. Hidupku lebih positif. Tapi itu tidak bertahan lama, Allah menunjukan padaku bahwa Hindu bukanlah jalan menuju kebenaran hakiki,” kenang dia.

Meninggalkan ajaran Hindu, Cruz kembali pada agama Katolik Roma. Oleh gereja, ia ditawarkan untuk menjadi menetap di sebuah gereja di New Mexico.  Bertepatan dengan tawaran itu, keluarganya—Ibu, kakak dan adiknya—memutuskan untuk pindah ke Arizona. Saat itu, ia mulai memiliki hubungan dekat dengan orang banyak.

Cruz pun mulai menjalani program seminari. Bertahun-tahun ia ikuti pogram tersebut sehingga akhirnya berhasil menjadi pastor. Ia ditugaskan gereja untuk mempelajari tradisi agama lain di daerah Metro Phoenix.  “Peran baru saya adalah menjalin hubungan antaragama,” kata dia.

Sembari menjalankan tugasnya itu, Cruz juga menyambi sebagai pekerja di Biro Kesehatan Perilaku. Ia kunjungi sejumlah tempat ibadah agama lain, termasuk masjid. Dalam kunjungannya ke masjid, Cruz merasa ada kesempatan emas untuk belajar tentang Islam. Oleh seorang Muslim, ia diminta untuk mendatangi Masjid di Tempe, Arizona.

Sesampainya di masjid itu, Cruz segera membaca buku-buku tentang Islam. Setelah membaca, ia begitu terkejut. “Saya belum tahu, kalau rasa terkejutku itu merupakan bentuk hidayah dari Allah. Saya pun kembali mengunjungi masjid itu dan banyak berdialog dengan Imam Ahmad Al-Akoum,” tuturnya.

Al-Akoum, adalah Direktur Regional Masyarakat Muslim Amerika. Ia seorang yang begitu terbuka bagi penganut agama lain untuk berdiskusi tentang Islam. Banyak warga AS yang mencari informasi tentang Islam dari Al-Akoum. “Mengikuti kelas bimbingan Akoum, saya melihat Islam adalah kebenaran hakiki. Beberapa waktu kemudian, saya mengucapkan dua kalimat syahadat di masjid yang sering saya kunjungi, Alhamdulillah,” kata dia.

Menjadi Muslim, Cruz banyak mengalami perubahan. Keluarganya sedih, sebab Cruz memeluk agama yang ditakuti anak-anaknya. Ia pun berusaha memberikan pemahaman yang baik tentang Islam kepada mereka.

Tidak mudah memang bagi Cruz untuk menjalani identitas barunya sebagai Muslim. Ia sempat mengalami stres, lalu memutuskan untuk kembali berdiskusi dengan Al-Akoum tentang masalah yang dialaminya. “Al-Akoum mengatakan padaku bahwa tahun pertama sebagai Muslim tentu merupakan masa yang paling sulit. Ia lalu menyarankan untuk banyak berkomunikasi dengan Muslim lainnya,” kata dia.

Benar saja, saran Al-Akoum itu membuat iman Cruz semakin mantap. Ia mulai mendapatkan pekerjaan, yakni sebagai manajer pada sebuah program pencegahan penyalahgunaan alkohol dan narkoba, serta HIV dan hepatitis untuk populasi berisiko.

Selama itu pula, Cruz mulai menikmati identitasnya sebagai Muslim. Ia sangat aktif menjadi sukarelawan. Bahkan, ia dinominasikan menjadi kepala Dewan Masjid Tempe. “Insya Allah, jika Allah mengizinkan, saya ingin mendalami ilmu fikih guna memajukan kepentingan Islam dan umat yang saya cintai. Semua ini adalah karunia Allah SWT,” pungkasnya.



MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget